Selasa, 04 Mei 2010
Elang Jawa
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Falconiformes
Famili : Accipitridae
Genus : Spizaetus
Spesies : S. bartelsi
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah burung nasional Indonesia karena kemiripannya dengan Garuda dan juga merupakan simbol jenis satwa langka di Indonesia, dan elang jawa dijadikan maskot hewan langka INDONESIA
Kucing
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Karnivora
Famili : Felidae
Genus : Felis
Spesies : F. silvestris
Ras
Jumlah jenis kucing ras di seluruh dunia amat banyak. Setiap ras memiliki ciri khusus, tapi karena sering terjadinya kawin silang antar ras, banyak kucing yang hanya dikelompokkan dalam jenis bulu panjang dan bulu pendek, tergantung jenis rambut penutup tubuhnya.
Ada banyak macam ras kucing, beberapa diantaranya :
* Manx
Sebagian orang menyebutnya Rumpy. Ekornya pendek, Warna bulunya cokelat dan lavender. Sifatnya setia, ramah dan pintar.
* Maine Coon
Asalnya dari Maine, AS, keturunan Angora dan American Shorthair. Sifatnya lucu, pemalu tapi mau, dan mudah akrab. Bulunya tipis, lembut, dan warnanya beragam.
* British Shorthair
Dikembangkan di Inggris. Kucing ini kalem, lembut, hangat, dan pintar. Warna bulunya ada yang polos (putih,hitam,biru,merah dan krem), dwiwarna, hitam pekat, belang.
* Burmese (Burma)
Kucing ini dibiakkan oleh Dr. Thompson (AS) dari kucing ratu wong mau (Burma) dan siam. Warna cokelat musang, warna lainnya biru, champagne, lifa, merah, cokelat, dan biru kura-kura. sifatnya periang dan lucu.
* Chinchilla longhair
Inilah kucing persia paling anggun. Nenek moyangnya dari Inggris. Ras ini dibagi dalam dua macam, yaitu chinchilla warna cerah (sejati) dan yang agak gelap (perak gradasi).
[sunting] Macam warna
Kucing memiliki banyak warna dan macam pola. Ciri fisik ini tidak bergantung pada rasnya. Kucing rumahan dikelompokkan ke dalam jenis berikut berdasar penampakan fisiknya :
* bulu pendek
* bulu panjang
* oriental (bukan ras khusus, semua kucing yang bertubuh langsing, mata berbentuk almond, daun telinga lebar, dan rambut tubuh halus yang pendek)
Gen yang mengatur warna dan pola pada bulu kucing menentukan penampilan fisik dari kucing yang membedakan mereka ke dalam:
Telon atau Calico
putih dengan sedikit bercak warna hitam atau oranye (atau biru atau krem). Orang Jepang sering menyebut pola ini sebagai mi-ke. Karena gen warna bulu bertaut dengan kelamin, kucing Calico yang beraneka warna ini umumnya betina.
Tortoiseshell
hitam dengan warna oranye dan putih tersebar di seluruh tubuhnya. Kucing yang memiliki warna hitam, oranye terang, dan oranye gelap disebut sebagai Calimanco atau Clouded Tiger.
Tabby
bergaris dengan bermacam pola. Pola klasik pada kucing ini berbentuk bulatan-bulatan atau lingkaran. Tabby jenis mackerel mempunyai tiga garis yang tampak di samping tubuhnya, membuat kucing ini seperti ikan mackerel.
Maltese
nama lama dari kucing biru (abu-abu).
Bicolor (dua warna)
disebut juga Tuxedo cat atau Jellicle cat karena memiliki bulu berwarna hitam dengan sedikit warna putih pada bagian kaki, perut, dada, dan mungkin pula di bagian wajah.
Pada kulit kucing terdapat otot yang berfungsi untuk menolak telur bakteri. Otot kucing itu juga dapat menyesuaikan dengan sentuhan otot manusia. Permukaan lidah kucing tertutupi oleh berbagai benjolan kecil yang runcing, benjolan ini bengkok mengerucut seperti kikir atau gergaji. Bentuk ini sangat berguna untuk membersihkan kulit. Ketika kucing minum, tidak ada setetes pun cairan yang jatuh dari lidahnya.
Sedangkan lidah kucing sendiri merupakan alat pembersih yang paling canggih, permukaannya yang kasar bisa membuang bulu-bulu mati dan membersihkan bulu-bulu yang tersisa di badannya.
Pada kulit kucing terdapat otot yang berfungsi untuk menolak telur bakteri.
Otot kucing itu juga dapat menyesuaikan dengan sentuhan otot manusia.
Permukaan lidah kucing tertutupi oleh berbagai benjolan kecil yang runcing, benjolan ini bengkok mengerucut seperti kikir atau gergaji. Bentuk ini sangat berguna untuk membersihkan kulit. Ketika kucing minum, tidak ada setetes pun cairan yang jatuh dari lidahnya.
Sedangkan lidah kucing sendiri merupakan alat pembersih yang paling canggih, permukaannya yang kasar bisa membuang bulu-bulu mati dan membersihkan bulu-bulu yang tersisa di badannya.
Kebiasaan Rasulullah saw
Nabi Muhammad saw. SELALU menggendong mueeza (nama kucingnya) dan ditaruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang paling nabi suka:’Mueeza selalu mengeong ketika mendengar azan, seolah-olah ngeongnya mengikuti lantunan suara adzan’
Minggu, 02 Mei 2010
mikoriza 3
MIKORIZA
Maret 16, 2007 — La An
Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001). Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamu mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung funsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001)
Atmaja (2001) mengatakan bahwa pertumbuhan Mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti:
->Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatka aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukkan MVA melalui tiga tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa didalam konteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, diwilayah subtropika mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 34°C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah beriklim dingin, suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20°C. Penetrasi dan perkecambahan hifa diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi oleh cendawan MVA meningkat dengan naiknya suhu. Schreder (1974) dalam Atmaja (2001) menemukan bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida terjadi pada suhu 30-33°C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis MVA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama dari aktifitas MVA. Suhu yang sangat tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang. MVA mungkin lebih mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah bertekstur berat dari pada di tanah berpasir.
->Kadar air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air (Vesser et el,1984dalam Pujianto, 2001). Adanya MVA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah:
->adanya mikoriza resitensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transfer iar ke akar meningkat.
->Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya MVA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
->Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
->Tanaman mikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang lebih ekonomis.
->Pengaruh tidak langsung karena adanya miselin eksternal menyebabkan MVA efektif didalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
->pH tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan MVA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Glomus fasciculatus berkembang biak pada pH masam. Pengapuran menyebabkan perkembangan G. fasciculatus menurun (Mosse, 1981 dalam Atmaja, 2001). Demikian pula peran G.fasciculatus di dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah masam menurun akibat pengapuran (Santoso, 1985). Pada pH 5,1 dan 5,9 G. fasciculatus menampakkan pertumbuhan yang terbesar, G. fasciculatus memperlihatkan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan tanaman justru kalau pH 5,1 G. Mosseae memberikan pengaruh terbesar pada pH netral sampai alkalis (pH 6,0-8,1).
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan mikoriza menurun (Santosa, 1989). Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza terjamin.
->Bahan organik
Bahan organic merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping air dan udara. Jumlah spora MVA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organic didalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organic 1-2 persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organic kurang dari 0,5 persen kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001). Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan MVA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi MVA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa,vesikel dan spora yang dapat menginfeksi MVA. Disamping itu juga berfungsi sebagai inokulasi untuk tanaman berikutnya.
->Cahaya dan ketersediaan hara
Bjorman dalam Gardemann (1983) dalam Atmaja (2001) menyimpukan bahwa dalam intensitas cahaya yang tinggi kekahatan sedang nitrogen atau fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi cendawan MVA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh MVA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi MVA meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan peyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Santosa, 1989).
Hayman (1975) dala Atmaja (2001) mengadakan studi yang mendalam mengenai pemupukan N dan P terhadap MVA pada tanah di wilayah beriklim sedang. Pemupukkan N (188 kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk mengandung jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan petak yang menerima pemupukkan. Hayman mengamati bahwa pemupukkan N lebih berpengaruh daripada pemupukkan P, tetapi peneliti lain mendapatkan keduanya memiliki pengaruh yang sama.
->Logam berat dan unsur lain
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya MVA menurun dengan naiknya kandungan Al dalam tanah. Aluminium diketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca didalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan MVA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang memiliki derajat infeksi MVA yang rendah. Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran sel.
Beberapa spesies MVA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies MVA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan MVA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi.
->Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang diracik untuk membunuh cendawan penyebab penyakit pada tanaman, akan tetapi selain membunuh cendawan penyebab penyakit fungisida juga dapat membunuh mikoriza, dimana pemakainan fungisida ini menurunkan pertumbuhan dan kolonisasi serta kemampuan mikoriza dalam menyerap P.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah sebagai berikut (Rahayu dan Akbar, 2003):
->Meningkatkan penyerapan unsur hara
Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza, dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsure hara mikro. Selain itu akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsure hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano, 1985 dalam Suhardi, 1992 dalam Rahayu dan Akbar, 2003).
De la Cruz (1981) dalam Atmaja (2001) melaporkan lebih banyak lagi unsure hara yang serapannya meningkat dari adanya mikoriza. Unsure hara yang meningkat penyerapannya adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn dan Zn. Hubungan antara MVA dengan organisme tanah tidak bias diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya membantu pertumbuhan tanaman.
->Tahan terhadap serangan pathogen
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungan ini bias diterangkan sebagai berikut:
☺ adanya lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk masuknya pathogen
☺ mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehinga tidak cocok bagi patogen.
☺ fungi mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat menghambat perkembangan patogen.
->Sebagai konservasi tanah
Fungi mikoriza yang berasosiasi dengan akar berperan dalam konservasi tanah, hifa tersebut sebagai kontributor untuk menstabilkan pembentukan struktur agregat tanah dengan cara mengikat agregat-agregat tanah dan bahan organic tanah.
->Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh
Fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, sitokinin, giberellin, juga zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya.
->Sebagai sumber pembuatan pupuk biologis.
->Fungi ini dapat diisolasi, dimurnikan dan diperbanyak dalam biakan monnesenil.
->Isolat-isolat tersebut dapat dikemas dalam bentuk inokulum dan sebagai sumber material pembuat pupuk biologis yang dapat beradaptasi pada kondisi daerah setempat (Setiadi, 1994).
->Sinergis dengan mikroorganisme lain
Keberadaan mikoriza juga bersifat sinergis denagn mikroba potensial lainnya seperti bakteri penambat N dan bakteri pelarut fosfat.
->Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
Fungi mikoriza berperan dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan lainnya yang berdekatan melalui struktur yang disebut Bridge Hypae.
Dafatar Pustaka
Atmaja, I Wayan Dana. 2001. Bioteknologi Tanah (Ringkasan Kuliah). Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar
Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di Lahan Marginal. ____________
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember
Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rahayu, Novi., dan Ade Kusuma Akbar. 2003. Pemanfaatan Mikoriza dan Bahan Organik Dalam Rangka Reklamasi Lahan Pasca Penambangan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Pontianak
Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Suwardji. 2003. Profil Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB: Potensi, Tantangan dan strategi Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional FOKUSHIMITI BEW III di Mataram. Universitas Mataram. Mataram
Maret 16, 2007 — La An
Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001). Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamu mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung funsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001)
Atmaja (2001) mengatakan bahwa pertumbuhan Mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti:
->Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatka aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukkan MVA melalui tiga tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa didalam konteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, diwilayah subtropika mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 34°C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah beriklim dingin, suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20°C. Penetrasi dan perkecambahan hifa diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi oleh cendawan MVA meningkat dengan naiknya suhu. Schreder (1974) dalam Atmaja (2001) menemukan bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida terjadi pada suhu 30-33°C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis MVA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama dari aktifitas MVA. Suhu yang sangat tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang. MVA mungkin lebih mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah bertekstur berat dari pada di tanah berpasir.
->Kadar air tanah
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air (Vesser et el,1984dalam Pujianto, 2001). Adanya MVA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah:
->adanya mikoriza resitensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transfer iar ke akar meningkat.
->Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya MVA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
->Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza.
->Tanaman mikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang lebih ekonomis.
->Pengaruh tidak langsung karena adanya miselin eksternal menyebabkan MVA efektif didalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
->pH tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan MVA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Glomus fasciculatus berkembang biak pada pH masam. Pengapuran menyebabkan perkembangan G. fasciculatus menurun (Mosse, 1981 dalam Atmaja, 2001). Demikian pula peran G.fasciculatus di dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah masam menurun akibat pengapuran (Santoso, 1985). Pada pH 5,1 dan 5,9 G. fasciculatus menampakkan pertumbuhan yang terbesar, G. fasciculatus memperlihatkan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan tanaman justru kalau pH 5,1 G. Mosseae memberikan pengaruh terbesar pada pH netral sampai alkalis (pH 6,0-8,1).
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan mikoriza menurun (Santosa, 1989). Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza terjamin.
->Bahan organik
Bahan organic merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping air dan udara. Jumlah spora MVA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organic didalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organic 1-2 persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organic kurang dari 0,5 persen kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001). Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan MVA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi MVA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa,vesikel dan spora yang dapat menginfeksi MVA. Disamping itu juga berfungsi sebagai inokulasi untuk tanaman berikutnya.
->Cahaya dan ketersediaan hara
Bjorman dalam Gardemann (1983) dalam Atmaja (2001) menyimpukan bahwa dalam intensitas cahaya yang tinggi kekahatan sedang nitrogen atau fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi cendawan MVA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh MVA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi MVA meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan peyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Santosa, 1989).
Hayman (1975) dala Atmaja (2001) mengadakan studi yang mendalam mengenai pemupukan N dan P terhadap MVA pada tanah di wilayah beriklim sedang. Pemupukkan N (188 kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk mengandung jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan petak yang menerima pemupukkan. Hayman mengamati bahwa pemupukkan N lebih berpengaruh daripada pemupukkan P, tetapi peneliti lain mendapatkan keduanya memiliki pengaruh yang sama.
->Logam berat dan unsur lain
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya MVA menurun dengan naiknya kandungan Al dalam tanah. Aluminium diketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca didalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan MVA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang memiliki derajat infeksi MVA yang rendah. Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran sel.
Beberapa spesies MVA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies MVA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan MVA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi.
->Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang diracik untuk membunuh cendawan penyebab penyakit pada tanaman, akan tetapi selain membunuh cendawan penyebab penyakit fungisida juga dapat membunuh mikoriza, dimana pemakainan fungisida ini menurunkan pertumbuhan dan kolonisasi serta kemampuan mikoriza dalam menyerap P.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah sebagai berikut (Rahayu dan Akbar, 2003):
->Meningkatkan penyerapan unsur hara
Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza, dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsure hara mikro. Selain itu akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsure hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano, 1985 dalam Suhardi, 1992 dalam Rahayu dan Akbar, 2003).
De la Cruz (1981) dalam Atmaja (2001) melaporkan lebih banyak lagi unsure hara yang serapannya meningkat dari adanya mikoriza. Unsure hara yang meningkat penyerapannya adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn dan Zn. Hubungan antara MVA dengan organisme tanah tidak bias diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya membantu pertumbuhan tanaman.
->Tahan terhadap serangan pathogen
Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungan ini bias diterangkan sebagai berikut:
☺ adanya lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk masuknya pathogen
☺ mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehinga tidak cocok bagi patogen.
☺ fungi mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat menghambat perkembangan patogen.
->Sebagai konservasi tanah
Fungi mikoriza yang berasosiasi dengan akar berperan dalam konservasi tanah, hifa tersebut sebagai kontributor untuk menstabilkan pembentukan struktur agregat tanah dengan cara mengikat agregat-agregat tanah dan bahan organic tanah.
->Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh
Fungi mikoriza dapat memberikan hormon seperti auxin, sitokinin, giberellin, juga zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya.
->Sebagai sumber pembuatan pupuk biologis.
->Fungi ini dapat diisolasi, dimurnikan dan diperbanyak dalam biakan monnesenil.
->Isolat-isolat tersebut dapat dikemas dalam bentuk inokulum dan sebagai sumber material pembuat pupuk biologis yang dapat beradaptasi pada kondisi daerah setempat (Setiadi, 1994).
->Sinergis dengan mikroorganisme lain
Keberadaan mikoriza juga bersifat sinergis denagn mikroba potensial lainnya seperti bakteri penambat N dan bakteri pelarut fosfat.
->Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
Fungi mikoriza berperan dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan lainnya yang berdekatan melalui struktur yang disebut Bridge Hypae.
Dafatar Pustaka
Atmaja, I Wayan Dana. 2001. Bioteknologi Tanah (Ringkasan Kuliah). Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar
Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di Lahan Marginal. ____________
Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember
Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rahayu, Novi., dan Ade Kusuma Akbar. 2003. Pemanfaatan Mikoriza dan Bahan Organik Dalam Rangka Reklamasi Lahan Pasca Penambangan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Pontianak
Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Suwardji. 2003. Profil Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB: Potensi, Tantangan dan strategi Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional FOKUSHIMITI BEW III di Mataram. Universitas Mataram. Mataram
mikoriza
MIKORIZA
(Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Biofertilizer)
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994).
Mikoriza adalah jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur(Anonim,2008). Istilah mikoriza berasal dari kata myces yang berarti cendawan dan rhizae yang berarti akar, jadi secara harifiah mikoriza memiliki arti akar jamur atau akar yang diliputi oleh jamur. Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001). Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.(Anonim, 2008).
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamur mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung fungsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Mikoriza
Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi. Mikoriza yang berarti akar jamur pertama kali ditemukan oleh botaniwan Jerman, Frank pada tahun 1855 (Rao, 1994). Dalam bahasa latin, istilah mikoriza (mycorrhyza) merupakan gabungan dari kata myces yang berarti jamur (cendawan) dan rhyza yang artinya akar. Hubungan antara cendawan dan akar ini hanya terjadi pada akar tumbuhan khususnya akar halus dan masih muda serta tidak pernah pada bagian yang lain (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007).
Mikoriza merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah dengan sel akar hidup terutama korteks dan sel epidermis. Cendawan menerima unsur hara organik yang berasal dari tumbuhan, dan memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury dan Ross, 1995). Cendawan ini bersama dengan kelompoknya merupakan suatu golongan organisme khusus, berkemampuan menyerang organ-organ tumbuhan di bawah tanah (subterranean organs of plants), hidup bertahan dengan unsur-unsur organiknya.
Dengan terinfeksi, pertumbuhan akar menjadi lambat atau berhenti, sehingga mikoriza sering hanya mempunyai sedikit rambut akar. Keadaan ini mengakibatkan pengurangan permukaan penyerapan. Kecuali bila hifa cendawan yang pipih dan mampu merusak dari mikoriza meningkatkan terobosan ke tanah. Sehingga, hifa mengambil alih fungsi penyerapan rambut akar (Salisbury dan Ross, 1995).
2.2 Pembagian Mikoriza
Secara umum mikoriza digolongkan menjadi 3 tipe berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang :
1. Ektomikoriza
Suatu perakaran ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau selubung hifa jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Lapisan tersebut disebut selubung pseudoparenkimatis. Masing-masing cabang akar diselubungi hifa cendawan (disebut mantel hifa), sehingga ukuran akar tampak membesar. Hifa tumbuh memasuki korteks dan hanya tinggal di lapisan sel-sel korteks luar untuk membentuk jaring-jaring yang disebut ‘jala hartig’. Jala hartig inilah yang berperan dalam mentranasportasikan seluruh nutrisi yang diserap oleh mantel cendawan akar.
Pada umumnya, jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomycetes yang meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae dan Sclerodermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma, Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum (Rao, 1994). Terdapat pula ektomikoriza pada famili Pinaceae, Salicaceae, Betulaceae, Fagaceae, Juglandaceae, Cesalpinaceae, dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea, Abies, Pseudotsuga, Cedrus, Larix, Querqus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnusn, Salix, Carya, dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza (Rao, 1994).
2. Endomikoriza
Cendawan yang menginfeksi tidak menyebabkan pembesaran akar. Jaringan hifa cendwan masuk ke dalam sel korteks akar dan membentuk struktur khas berbentuk oval yang disebut vesikel dan sistem percabangan hifa yang dichotomous yang disebut arbuskul. Cendawan yang hidup intraselular ini membentuk hubungan langsung antar sel-sel akar dan tanah sekitarnya.
Cendawan endomikoriza umumnya berasal dari ordo Glomales (Zygomycetes) yang terbagi ke dalam subordo Glominae dan Gigasporinae (Pujiyanto, 2004). Tipe cendawan ini wilayah asosiasinya lebih luas, yaitu selain berasosiasi dengan jenis-jenis pohon hutan yang dipakai untuk HTI dan reboisasi lainnya (Acacia mangium, Switenia macrophylla, Pterocarpus sp, dll) juga dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman pertanian, hortikultura dan pastura (tanaman pakan ternak) (Setiadi, 2004).
3. Ektendomikoriza
Infeksi hifa dari cendawan tipe ini memiliki bentuk intermediet dari ektomikoriza dan endomikoriza. Hifa cendawan ektendomikoriza membentuk selubung tipis berupa jaringan hartig pada akar. Selain menginfeksi dinding sel korteks, infeksi juga terjadi pada sel-sel korteksnya. Penyebaran cendawan terbatas pada tanah-tanah hutan (Anas dan Santosa, 1993)
2.3 Ekologi Mikoriza
Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza atau arbuscular mycorriza (AM). Jamur ektomikoriza pada umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes. Asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza tersebut menyebabkan terbentuknya luas serapan yang lebih besar dan lebih mampu memasuki ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur hara, terutama unsur hara seperti P, Cu dan Zn. Selain itu juga menyebabkan tanaman lebih toleran terhadap keracunan logam, serangan penyakit khususnya patogen akar, kekeringan, suhu tanah yang tinggi dan kondisi pH yang tidak sesuai.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edafik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tumbuhan biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan yang cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya dapat berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada sawah. Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998 dalam Subiska 2002).
Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Muyanziza et al, 1997 dalam Subiska, 2002). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tumbuhan dan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari penebangan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagula cendawan mikoriza. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik seperti konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk atau pestisida serta faktor biotik seperti interaksi mikrobial, spesies cendawan, tumbuhan inang, tipe perakaran tumbuhan inang dan kompetisi antara cendawan mikoriza (Subiska, 2002).
2.4 Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu tipe cendawan dari golongan endomikoriza. CMA terdapat pada semua lahan tropis dan semua ekosistem terestrial (darat). Kemampuan berasosiasinya tinggi, yaitu hampir 90% jenis tanaman. Oleh karena itu, aplikasi CMA tidak terbatas untuk tanaman monokultur, tetapi juga dapat diaplikasikan untuk pola tanaman campuran seperti agroforestry (tumpang sari, alley cropping, sistem lorong) (Setiadi, 2004).
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang baik jika berasosiasi dengan tanaman inang. Spora cendawan ini cukup bervariasi dan sekitar 100µm sampai 600 µm. Ukuran yang cukup besar ini menyebabkan spora CMA mudah diisolasi dari dalam tanah dengan cara penyaringan. Pada akar, hanya korteks primer dan sekunder yang menjadi tempat terjadinya infeksi. Berbeda dengan infeksi oleh patogen, infeksi CMA tidak menyebabkan luka maupun perubahan warna. Pada permukaan akar juga sering dijumpai hifa, akan tetapi hifa tersebut tidak cukup banyak untuk menutupi akar seperti pada ektomikoriza. Dengan adanya hifa eksternal ini, maka areal perakaran bertambah. Dengan bertambahnya akar eksternal ini, maka kemampuan untuk menyerap unsur hara terutama P dan air bertambah (Mosse, 1981 dalam Anas 1993).
Cendawan mikoriza arbuskula membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981 dalam Widiarti,2007), yaitu :
1. Arbuskula
Dibentuk secara intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa, tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion. Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi. Hidupnya relatif pendek 1-3 minggu dan akan melakukan degenerasi ke suatu massa granular dari materi dinding jamur ke dalam sel inang.
2. Vesikula
Memiliki bentuk yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa. Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan sementara. Secara normal, vesikula terbentuk setelah arbuskula, dan biasanya menjadi lebih banyak pada waktu tanaman dewasa. Bentuk vesikula, struktur dinding, kandungan dan jumlahnya berbeda tergantung jenis jamur yang membentuk mikoriza.
Cendawan mikoriza arbuskula yang dikenal dengan sebutan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) sukar untuk dikenal dari morfologi akarnya. Oleh karena itu, penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang sering ditempuh untuk menjelaskan adanya CMA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi CMA sangat bergantung pada arah penelitian. Namun diperlukan pencucian isi sel akar dan pewarnaan struktur CMA.
Perkembangan CMA terjadi antara lain pada saat miselium eksternal dalam tanah membentuk spora yang tersebar di sekitar akar. Sedangkan hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Anas, 1993).
Gambar 2.1 Asosiasi mikoriza dengan akar tanaman
2.4.1 Arbuskula
Arbuskula merupakan percabangan dari hifa masuk ke dalam sel tanaman inang. Masuknya hifa ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplsma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Siklus hidup arbuskula cukup singkat yaitu antara satu sampai tiga minggu (Mosse, 1981 dalam Anas, 1993)
Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dinamakan arbuskul. Arbuskul dianggap sebagai struktur utama yang terlihat di alam transfer dua hara antara simbion cendawan dan tanaman inang.
Mosse dan Herper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah arbuskul. Dengan bertambahnya umur, arbuskul ini berubah menjadi satu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul kemudian tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi dengan CMA dapat dilihat berbagai arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unti kolonisasi tersebut.
Tanaman inang yang terinfeksi sama tanggapannya dengan patogen yang masuk ke dalam akar, akan tetapi sitoplasma tanaman inang tidak kembali (rusak). Bila arbuskula hilang dari dalam sel, inti kembali seperti biasa dan sitoplasma tetap berfungsi. Kadang-kadang celah tanaman dapat terinfeksi CMA untuk kedua kalinya.
2.4.2 Vesikula (Vesicle)
Organ ini berbentuk kantung di ujung hifa. Vesikula memiliki banyak lemak yang berfungsi untuk penyimpanan. Vesikula ini dapat terlepas dari akar tanaman bila terkelupas. Vesikel yang terpisah ini akan berkecambah dan tumbuh serta mnginfeksi akar yang baru. Terkadang, vesikula ini sukar dibedakan dengan spora pada saat penyaringa. Namun karena ukuran vesikula relatif lebih kecil (diameter spora 2-5 kali lebih besar), dan berbentuk agak lonjong (spora bulat), maka kedua organ ini dapat dibedakan dengan cepat. Vesikel di bentuk oleh hifa intraseluler atau interseluler dan dijumpai dalam sel korteks luar dan dalam. Struktur ini dijumpai pada Glomus sp. dan Aclauspotra sp. (Gadermann dan Trappe, 1974 dalam Anas, 1993).
Pada awal perkembangan vesikel, sitoplasma cukup padat, berinti banyak dan mengandung partikel-partikel kecil dan glikogen. Kemudian sitoplasma menjadi lebih padat dan selama fase ini kandungan lipid bertambah banyak. Pada saat dewasa, hampir seluruh isi vesikel ditempati oleh butir-butir lipid. Sel korteks yang dikolonisasi oleh vesikel mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak dikolonisasi. Umumnya vesikel dibentuk dalam jumlah banyak di bagian korteks luar dari unit kolonisasi ynag sudah lanjut usianya, namun ada pula vesikula yang dibentuk tanpa pembentukan arbuskul lebih dahulu.
2.4.3 Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam tanah dan begitu juga dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk berkembang CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi.(Widiarti, 2007)
Proses infeksi CMA dimulai dengan pembentukan apresorium pada perkembangan akar oleh hifa eksternal. Hifa eksternal ini berasal dari spora yang berkecambah ataupun di akar tanaman yang sudah terinfeksi. Hifa CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik interseluler maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumit di dalam
sel-sel kortikal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung, barulah terbentuk arbuskula, vesikel, dan akhirnya spora (Anas, 1993)
2.5 Identifikasi dan Klasifikasi genus Cendawan Mikorhiza
Jamur pembentuk ektomikorhiza biasanya Basidiomycetes diantaranya dari genera Amanita, Boletus, Laccaria, Pisolithus dan Scleroderma (Setiadi, 1989). Beberapa jamur hanya spesifik untuk satu inang, sedangkan yang lain mempunyai rentangan inang yang luas.
Identifikasi Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA) secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati spora yang dihasilkan dari masing-masing jenis CMA, yaitu dengan mengamati secara morfologi. Hal ini dikarenakan setiap jenis spora CMA memiliki struktur yang berbeda satu dengan lainnya.
Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA), yang ditemukan dapat menginfeksi tanaman, terdapat 6 genus :
1. Glomus
Spora Glomus merupakan hasil dari perkembangan hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuklah spora. Perkembangan spora yang berasal dari hifa inilah yang dinamakan Chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal struktur yang dinamakan sporocarp. Sporocarp ini merupakan hifa yang bercabang sehingga membentuk chlamidospora.
2. Sclerocystis
Perkembangan antara spora Sclerocystis sama dengan spora Glomus yaitu dari ujung hifa yang mengalami pembengkakkan. Ujung hifa dari Sclerocystis memiliki banyak cabang dan tiap-tiap cabang tersebut membentuk chlamidospora hingga terbentuk sporocarp dimana apabila dibelah akan terlihat bentuknya seperti belahan jeruk. Sporocarp biasanya berbentuk globose atau subglobose.
3. Gigaspora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose, subglobose namun sering berbentuk ovoid, pyriformis atau irregular. Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada mulanya berasal dari ujung hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut suspensor, kemudian di atas bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora. Karena spora tersebut terbentuk dari suspensor maka dinamakan azygospora.
4. Scutellospora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis atau irregular. Proses terbentuknya spora pada Scutellospora sama dengan pembentukkan spora pada genus Gigaspora. Namun yang membedakan dengan genus Gigaspora adalah pada Scutellospora terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germination shield tersebut.
5. Acaulospora
Spora terbentuk di tanah, memiliki bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis. Pada awalnya proses dari pembentukkan spora seolah-olah dimulai dari hifa, namun sebenarnya bukanlah dari hifa. Pada awalnya terjadi pembengkakkan ujung hifa yang strukturnya mirip spora yang dibuat hifa terminus. Kemudian muncul bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa, selama proses pembentukkan spora, hifa terminus tersebut akan rusak dan di dalamnya terdapat spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan ciatric.
6. Enterophospora
Proses pembentukkan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukkan spora pada Acaulospora. Yang membedakan keduanya adalah pada proses perkembangan azygospora berada di dalam, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang.
2.6 Asosiasi Mikoriza dengan Akar Tanaman
Asosiasi terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung)(Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cendawan Mikoriza Arbuskula
Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida.
2.7.1 Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan dan pembentukan CMA melalui tiga tahap :
(1) Perkecambahan spora dalam tanah
(2) Penetrasi hifa ke dalam sel akar
(3) Perkembangan hifa di dalam korteks akar.
Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, di wilayah subtropika, mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 340C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah yang beriklim dingin, suhu potimal untuk perkecambahan adalah 200C. Penetrasi dan perkecambahan hifa dalam akar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi akar oleh CMA meningkat dengan naiknya suhu (Anas, 1993).
Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan dan aktifitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 400C. Suhu bukan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981 dalam Widiarti 2007).
2.7.2 Kadar Air Tanah
Meskipun CMA dapat pula terbentuk pada tanaman air, pada umumnya diyakini bahwa perkembangannya sangat terhambat pada kondisi tanah yang tergenang. Pengetahuan tentang ekofisiologi CMA dalam hubungannya dengan potensial air tanah penting untuk menilai CMA di daerah tersebut.
Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Tanaman yang tidak ber-CMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman yang memiliki CMA.(Anonim, 2008)
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah :
(1) Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun, sehingga transpor air ke akar meningkat.
(2) Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
(3) Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-CMA lebih mampu mendapatkan air dari pada tanaman yang tidak ber-CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam berat tanah lebih cepat menurun.
(4) Tanaman bermikoriza tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang ekonomis. Terdapat hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza, jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit dari tanaman tidak bermikoriza.
(5) Pengaruh tidak langsung karena adanya miselium eksternal menyebabkan CMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
2.7.3 pH Tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptis masing-masing spesies CMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Perubahan pH tanah melalui pengapuran akan berdampak merugikan perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah, sehingga pembentukan mikoriza menurun.
2.7.4 Cahaya dan Ketersediaan Hara
Gardemann (1983) dalam Anas (1993) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dan kekahatan nitrogen dan fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang relatif aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun maka infeksi CMA meningkat.
Peran mikoriza yang erat kaitannya dengan P bagi tanaman menunjukkan keterkaitan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang, konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan oleh konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas, 1993)
2.7.5 Pengaruh Logam Berat dan Unsur Lain
Pada tanah-tanah tropika sering terdapat permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pengaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium dan mangan.
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium berkurang jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca dalam tanah mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah ini memiliki derajat infeksi yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena Ca2+ memelihara integritas sel.(Anonim, 2008)
Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui bahwa strain-strain tertentu mamapu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi (Mosse, 1981 dalam Anas, 1991)
2.7.6 Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit, beberapa fungisida meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu menyebabkan menurunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P. Pemakaian fungisida dapat membunuh CMA yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.(Anonim, 2008)
2.8 Manfaat Mikoriza
Nuharama (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada lima hal yang dapat membantu perkembangan tumbuhan dengan adanya mikoriza (Subiska, 2002 dalam Widirati 2007), yaitu :
1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar
3. Mikoriza meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4. Mikoriza meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin
5. Menjamin terselenggaranya proses biogeokimia
Menurut Andurrani Muia, mikoriza juga mempunyai manfaat yang besar untuk pembangunan hutan terutama pada lahan kritis atau marginal. Manfaat tersebut yaitu mikoriza sebagai biofertilizer bagi tanaman kehutanan serta sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan, keracunan logam berat dan patogen.
2.8.1 Mikoriza sebagai Biofertilizer bagi Tanaman Kehutanan
Para peneliti telah banyak membuktikan bahwa cendawan ini mampu meningkatkan penyerapan unsur hara (terutam fosfat) dan beberapa hara mikro. Hareley, 1968 dan Gianinazzi Pearson, (1981) dalam Muin mengatakan bahwa kebanyakan akar tanaman yang berasosiasi dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai simbiosis diketahui meningkatkan hara fosfat tanaman. Dijelaskan oleh Sieverding (1991) bahwa cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Bolan (1991) mengatakan bahwa fosfat adalah unsur hara utama yang mampu diserap oleh tanaman bermikoriza. Selain itu dapat juga menyerap NH (Hogber, 1989) dan juga unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Mo (De la Cruz, 1991 dalam Setiadi).
2.8.2 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Kekeringan
Garbaye dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa asosiasi cendawan arbuskular-veskular mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air yang sympastis. Selain telah pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di bawah titik layu permanen, dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi tanaman nonmikoriza. Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang paling kecil dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut menyebabkan tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana kekeringan (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007)
2.8.3 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Keracunan Logam Berat
Sejumlah penelitian VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn dan Cu. Logam-logam yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar, namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. (Muin, 2001). Selain itu, pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat dapat ditingkatkan resistensinya jika dikolonisasi oleh CMA (Gildon dan Tinker, 1986), sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi.
2.8.4 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Patogen
Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen untuk menunjukkan adanya kompetisi (Subiska, 2002 dalam Widiarti, 2007)
Sedangkan menurut Anas dan Santosa (1993), peranan lain dari mikoriza dalam pertumbuhan tumbuhan adalah sebagai produsen hormon dan zat pengatur tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti sitokinin, giberelin dan hasil metabolisme cendawan mikoriza yang berupa vitamin. Mikoriza pun mampu menggantikan kebutuhan pupuk, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga aman bagi ekosistem, membantu tanaman untuk beradaptasi dengan pH rendah, merahabilitas atau mereklamasi daerah bekas tambang, serta melindungi tanaman terhadap toksisitas logam berat karena logam berat akan diserap oleh hifa cendawan.
2.8.5 Peranan Ektomikoriza
• peningkatan unsur hara
• ketahanan terhadap kekeringan
• ketahanan serangan patogen tanah
• berpotensi untuk pembangunan hutan industry
2.8.6 Peranan Endomikoriza
• meningkatkan pertumbuhan tanaman
• meningkatkan produktivitas
• mengurangi kebutuhan pemupukan fosfat
• memproduksi bunga lebih awal
• memperpanjang masa pembungaan, pada tanaman hias
(Widiarti, 2007)
2.9 Pengamatan Mikoriza di Laboratorium
Pengamatan spora mikoriza
Sampel tanah yang akan diamati berasal dari lokasi yang disekitarnya terdapat sistem perakaran tanaman sampel. Diasumsikan bahwa apabila suatu sistem perakaran telah terinfeksi mikoriza, maka tanah disekitarnya akan mengandung spora dari mikoriza tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati dan mengidentifikasi spora mikoriza dari sampel tanah, dilakukan metoda Penyaringan Basah menurut Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007). Proses penyaringan dilakukan melalui beberapa tahapan.
1. Sampel tanah pada beberapa titik pengambilan yang berbeda dicampurkan sesuai letak plot/transek. Kemudian dari campuran tersebut diambil sebanyak 200 gram lalu dimasukkan ke dalam beaker glass.
2. Ditambahkan satu liter air kemudian diaduk selama beberapa waktu sampai merata, setalah itu diamkan campuran tersebut hingga air dan tanahnya terpisah.
3. Suspensi yang diperoleh dilewatkan pada tiga saringan yang berbeda, yaitu saringan ukuran 125 µm, 63 µm, dan 45 µm.
4. Partikel yang tertahan pada saringan 63 µm dan 45 µm dicuci dengan air bersih.
5. Partikel yang telah dicuci dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 50 rpm selama lima menit (untuk penyesuaian di lapangan, dapat diganti dengan melakukan pengendapan selama 24 jam).
6. Supernatan dibuang dan endapan ditambah larutan gula 30% sampai setengah bagian tabung sentrifuse, kemudian lakukan sentrifuse selama lima menit (untuk penyesuaian lapangan, pengocokan dilakukan dengan botol).
7. Supernatan disaring dengan saringan ukuran 45 µm lalu dicuci dengan air mengalir. Spora yang tertahan dimasukkan ke dalam cawan petri.
8. Amati di bawah mikroskop stereo binokuler kemudian dilihat bentuk, warna dan ukurannya.
Pengamatan akar yang terinfeksi mikoriza
Sampel yang akan diamati berasal dari akar sekunder dan tersier. Akar dari tumbuhan bawah ini diambil dan dipotong dengan panjang 1 cm. Kemudian akar tersebut disimpan dalam botol film. Analisis laboratorium meliputi tahap pembuatan preparat (pewarnaan) dan pengamatan di bawah mikroskop. Pembuatan preparat diawali dengan pencucian akar dengan air sampai bersih dari tanah. Setelah itu, dilakukan pewarnaan dengan metode Kormanik dan McGraw (1982).
Pada pewarnaan ini, pertama-tama potongan-potongan akar tersebut dimasukkan dalam botol film dan direndam dalam KOH 10%,akar dibersihkan dari KOH dengan bilasan akuades sebanyak 3 kali sampai warna coklat tidak tampak lagi. Setelah itu, akar direndam dalam HCl 1%. Kemudian HCl dibuang tanpa dibilas dan potongan-potongan akar tersebut ditetesi pewarna air fuchsin atau asam fuchsin asam laktat {875 ml asam laktat + 65 ml gliserin (0,2 gram fuchsin dan 62 ml air)} selama 10-60 menit. Setelah terwarnai, tahap terakhir adalah mengamati akar di bawah mikroskop.
2.10 Analisis Data Pengamatan Mikoriza
Pada setiap sampel yang berasal dari plot berbeda, spora yang dapat diamati dihitung jumlahnya dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007).
Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase keberadaan mikoriza pada setiap sampel akar yang terinfeksi menggunakan metode panjang slide(Setiadi,dkk.,1992).
Selain mengamati derajat infeksi, dilakukan juga pengamatan terhadap kehadiran beberapa struktur khusus dari mikoriza seperti kehadiran vesikula, arbuskula, dan ada tidaknya hifa eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Mikoriza. Diakses 28 Maret 2008
Anonim. 2008. http://mbojo.wordpress.com/2007/03/16/mikoriza/. Diakses 28 Maret 2008
Anonim.2008.http://www.mycorrhizas.org/files/20070222_AMI2007.pdf. Diakses 28 Maret 2008
Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Munawir. 2008. Sebaran Infeksi Mikoriza pada Akar Macodes sp di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat. Laporan Kerja Praktek. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.
Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rao, N.S Subba.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Salisbury, F.B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bandung: Penerbit ITB.
Setiadi, Yadi, dkk. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Widiarti, Ira. 2007. Sebaran Spora Mikoriza pada Seedling di Hutan Pantai Barat Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.
(Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Biofertilizer)
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994).
Mikoriza adalah jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur(Anonim,2008). Istilah mikoriza berasal dari kata myces yang berarti cendawan dan rhizae yang berarti akar, jadi secara harifiah mikoriza memiliki arti akar jamur atau akar yang diliputi oleh jamur. Asosiasi simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti “akar jamur” (Atmaja, 2001). Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong didalam dua tipe yaitu: Mikoriza Vesikular-Arbuskular (MVA)/Endomikoriza dan Vesikular-Arbuskular Mikoriza (VAM)/Ektomikoriza. Jamur ini pada umumnya tergolong kedalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
Mikoriza berasal dari kata Miko (Mykes = cendawan) dan Riza yang berarti Akar tanaman. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebarannya. Nahamara (1993) dalam Subiksa (2002) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu.(Anonim, 2008).
Kondisi lingkungan tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kindisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Jamur mikoriza mempenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung fungsi reproduksi serta untuk transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto, 2001 dalam Anonim, 2008).
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Mikoriza
Mikoriza merupakan asosiasi simbiotik antara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi. Mikoriza yang berarti akar jamur pertama kali ditemukan oleh botaniwan Jerman, Frank pada tahun 1855 (Rao, 1994). Dalam bahasa latin, istilah mikoriza (mycorrhyza) merupakan gabungan dari kata myces yang berarti jamur (cendawan) dan rhyza yang artinya akar. Hubungan antara cendawan dan akar ini hanya terjadi pada akar tumbuhan khususnya akar halus dan masih muda serta tidak pernah pada bagian yang lain (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007).
Mikoriza merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah dengan sel akar hidup terutama korteks dan sel epidermis. Cendawan menerima unsur hara organik yang berasal dari tumbuhan, dan memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury dan Ross, 1995). Cendawan ini bersama dengan kelompoknya merupakan suatu golongan organisme khusus, berkemampuan menyerang organ-organ tumbuhan di bawah tanah (subterranean organs of plants), hidup bertahan dengan unsur-unsur organiknya.
Dengan terinfeksi, pertumbuhan akar menjadi lambat atau berhenti, sehingga mikoriza sering hanya mempunyai sedikit rambut akar. Keadaan ini mengakibatkan pengurangan permukaan penyerapan. Kecuali bila hifa cendawan yang pipih dan mampu merusak dari mikoriza meningkatkan terobosan ke tanah. Sehingga, hifa mengambil alih fungsi penyerapan rambut akar (Salisbury dan Ross, 1995).
2.2 Pembagian Mikoriza
Secara umum mikoriza digolongkan menjadi 3 tipe berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang :
1. Ektomikoriza
Suatu perakaran ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau selubung hifa jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Lapisan tersebut disebut selubung pseudoparenkimatis. Masing-masing cabang akar diselubungi hifa cendawan (disebut mantel hifa), sehingga ukuran akar tampak membesar. Hifa tumbuh memasuki korteks dan hanya tinggal di lapisan sel-sel korteks luar untuk membentuk jaring-jaring yang disebut ‘jala hartig’. Jala hartig inilah yang berperan dalam mentranasportasikan seluruh nutrisi yang diserap oleh mantel cendawan akar.
Pada umumnya, jamur yang terlibat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomycetes yang meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomataceae, Rhizopogonaceae dan Sclerodermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma, Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum (Rao, 1994). Terdapat pula ektomikoriza pada famili Pinaceae, Salicaceae, Betulaceae, Fagaceae, Juglandaceae, Cesalpinaceae, dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea, Abies, Pseudotsuga, Cedrus, Larix, Querqus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnusn, Salix, Carya, dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza (Rao, 1994).
2. Endomikoriza
Cendawan yang menginfeksi tidak menyebabkan pembesaran akar. Jaringan hifa cendwan masuk ke dalam sel korteks akar dan membentuk struktur khas berbentuk oval yang disebut vesikel dan sistem percabangan hifa yang dichotomous yang disebut arbuskul. Cendawan yang hidup intraselular ini membentuk hubungan langsung antar sel-sel akar dan tanah sekitarnya.
Cendawan endomikoriza umumnya berasal dari ordo Glomales (Zygomycetes) yang terbagi ke dalam subordo Glominae dan Gigasporinae (Pujiyanto, 2004). Tipe cendawan ini wilayah asosiasinya lebih luas, yaitu selain berasosiasi dengan jenis-jenis pohon hutan yang dipakai untuk HTI dan reboisasi lainnya (Acacia mangium, Switenia macrophylla, Pterocarpus sp, dll) juga dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman pertanian, hortikultura dan pastura (tanaman pakan ternak) (Setiadi, 2004).
3. Ektendomikoriza
Infeksi hifa dari cendawan tipe ini memiliki bentuk intermediet dari ektomikoriza dan endomikoriza. Hifa cendawan ektendomikoriza membentuk selubung tipis berupa jaringan hartig pada akar. Selain menginfeksi dinding sel korteks, infeksi juga terjadi pada sel-sel korteksnya. Penyebaran cendawan terbatas pada tanah-tanah hutan (Anas dan Santosa, 1993)
2.3 Ekologi Mikoriza
Secara umum mikoriza di daerah tropika tergolong ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza atau arbuscular mycorriza (AM). Jamur ektomikoriza pada umumnya tergolong ke dalam kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes. Asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza tersebut menyebabkan terbentuknya luas serapan yang lebih besar dan lebih mampu memasuki ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur hara, terutama unsur hara seperti P, Cu dan Zn. Selain itu juga menyebabkan tanaman lebih toleran terhadap keracunan logam, serangan penyakit khususnya patogen akar, kekeringan, suhu tanah yang tinggi dan kondisi pH yang tidak sesuai.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edafik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tumbuhan biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan yang cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya dapat berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada sawah. Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998 dalam Subiska 2002).
Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Muyanziza et al, 1997 dalam Subiska, 2002). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tumbuhan dan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari penebangan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagula cendawan mikoriza. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik seperti konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk atau pestisida serta faktor biotik seperti interaksi mikrobial, spesies cendawan, tumbuhan inang, tipe perakaran tumbuhan inang dan kompetisi antara cendawan mikoriza (Subiska, 2002).
2.4 Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu tipe cendawan dari golongan endomikoriza. CMA terdapat pada semua lahan tropis dan semua ekosistem terestrial (darat). Kemampuan berasosiasinya tinggi, yaitu hampir 90% jenis tanaman. Oleh karena itu, aplikasi CMA tidak terbatas untuk tanaman monokultur, tetapi juga dapat diaplikasikan untuk pola tanaman campuran seperti agroforestry (tumpang sari, alley cropping, sistem lorong) (Setiadi, 2004).
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang baik jika berasosiasi dengan tanaman inang. Spora cendawan ini cukup bervariasi dan sekitar 100µm sampai 600 µm. Ukuran yang cukup besar ini menyebabkan spora CMA mudah diisolasi dari dalam tanah dengan cara penyaringan. Pada akar, hanya korteks primer dan sekunder yang menjadi tempat terjadinya infeksi. Berbeda dengan infeksi oleh patogen, infeksi CMA tidak menyebabkan luka maupun perubahan warna. Pada permukaan akar juga sering dijumpai hifa, akan tetapi hifa tersebut tidak cukup banyak untuk menutupi akar seperti pada ektomikoriza. Dengan adanya hifa eksternal ini, maka areal perakaran bertambah. Dengan bertambahnya akar eksternal ini, maka kemampuan untuk menyerap unsur hara terutama P dan air bertambah (Mosse, 1981 dalam Anas 1993).
Cendawan mikoriza arbuskula membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981 dalam Widiarti,2007), yaitu :
1. Arbuskula
Dibentuk secara intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa, tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion. Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi. Hidupnya relatif pendek 1-3 minggu dan akan melakukan degenerasi ke suatu massa granular dari materi dinding jamur ke dalam sel inang.
2. Vesikula
Memiliki bentuk yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa. Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan sementara. Secara normal, vesikula terbentuk setelah arbuskula, dan biasanya menjadi lebih banyak pada waktu tanaman dewasa. Bentuk vesikula, struktur dinding, kandungan dan jumlahnya berbeda tergantung jenis jamur yang membentuk mikoriza.
Cendawan mikoriza arbuskula yang dikenal dengan sebutan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) sukar untuk dikenal dari morfologi akarnya. Oleh karena itu, penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang sering ditempuh untuk menjelaskan adanya CMA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi CMA sangat bergantung pada arah penelitian. Namun diperlukan pencucian isi sel akar dan pewarnaan struktur CMA.
Perkembangan CMA terjadi antara lain pada saat miselium eksternal dalam tanah membentuk spora yang tersebar di sekitar akar. Sedangkan hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Anas, 1993).
Gambar 2.1 Asosiasi mikoriza dengan akar tanaman
2.4.1 Arbuskula
Arbuskula merupakan percabangan dari hifa masuk ke dalam sel tanaman inang. Masuknya hifa ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplsma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Siklus hidup arbuskula cukup singkat yaitu antara satu sampai tiga minggu (Mosse, 1981 dalam Anas, 1993)
Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dinamakan arbuskul. Arbuskul dianggap sebagai struktur utama yang terlihat di alam transfer dua hara antara simbion cendawan dan tanaman inang.
Mosse dan Herper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah arbuskul. Dengan bertambahnya umur, arbuskul ini berubah menjadi satu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada arbuskul kemudian tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi dengan CMA dapat dilihat berbagai arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unti kolonisasi tersebut.
Tanaman inang yang terinfeksi sama tanggapannya dengan patogen yang masuk ke dalam akar, akan tetapi sitoplasma tanaman inang tidak kembali (rusak). Bila arbuskula hilang dari dalam sel, inti kembali seperti biasa dan sitoplasma tetap berfungsi. Kadang-kadang celah tanaman dapat terinfeksi CMA untuk kedua kalinya.
2.4.2 Vesikula (Vesicle)
Organ ini berbentuk kantung di ujung hifa. Vesikula memiliki banyak lemak yang berfungsi untuk penyimpanan. Vesikula ini dapat terlepas dari akar tanaman bila terkelupas. Vesikel yang terpisah ini akan berkecambah dan tumbuh serta mnginfeksi akar yang baru. Terkadang, vesikula ini sukar dibedakan dengan spora pada saat penyaringa. Namun karena ukuran vesikula relatif lebih kecil (diameter spora 2-5 kali lebih besar), dan berbentuk agak lonjong (spora bulat), maka kedua organ ini dapat dibedakan dengan cepat. Vesikel di bentuk oleh hifa intraseluler atau interseluler dan dijumpai dalam sel korteks luar dan dalam. Struktur ini dijumpai pada Glomus sp. dan Aclauspotra sp. (Gadermann dan Trappe, 1974 dalam Anas, 1993).
Pada awal perkembangan vesikel, sitoplasma cukup padat, berinti banyak dan mengandung partikel-partikel kecil dan glikogen. Kemudian sitoplasma menjadi lebih padat dan selama fase ini kandungan lipid bertambah banyak. Pada saat dewasa, hampir seluruh isi vesikel ditempati oleh butir-butir lipid. Sel korteks yang dikolonisasi oleh vesikel mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak dikolonisasi. Umumnya vesikel dibentuk dalam jumlah banyak di bagian korteks luar dari unit kolonisasi ynag sudah lanjut usianya, namun ada pula vesikula yang dibentuk tanpa pembentukan arbuskul lebih dahulu.
2.4.3 Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam tanah dan begitu juga dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk berkembang CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi.(Widiarti, 2007)
Proses infeksi CMA dimulai dengan pembentukan apresorium pada perkembangan akar oleh hifa eksternal. Hifa eksternal ini berasal dari spora yang berkecambah ataupun di akar tanaman yang sudah terinfeksi. Hifa CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik interseluler maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumit di dalam
sel-sel kortikal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung, barulah terbentuk arbuskula, vesikel, dan akhirnya spora (Anas, 1993)
2.5 Identifikasi dan Klasifikasi genus Cendawan Mikorhiza
Jamur pembentuk ektomikorhiza biasanya Basidiomycetes diantaranya dari genera Amanita, Boletus, Laccaria, Pisolithus dan Scleroderma (Setiadi, 1989). Beberapa jamur hanya spesifik untuk satu inang, sedangkan yang lain mempunyai rentangan inang yang luas.
Identifikasi Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA) secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati spora yang dihasilkan dari masing-masing jenis CMA, yaitu dengan mengamati secara morfologi. Hal ini dikarenakan setiap jenis spora CMA memiliki struktur yang berbeda satu dengan lainnya.
Cendawan Mikorhiza Arbuskular (CMA), yang ditemukan dapat menginfeksi tanaman, terdapat 6 genus :
1. Glomus
Spora Glomus merupakan hasil dari perkembangan hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuklah spora. Perkembangan spora yang berasal dari hifa inilah yang dinamakan Chlamidospora. Pada Glomus juga dikenal struktur yang dinamakan sporocarp. Sporocarp ini merupakan hifa yang bercabang sehingga membentuk chlamidospora.
2. Sclerocystis
Perkembangan antara spora Sclerocystis sama dengan spora Glomus yaitu dari ujung hifa yang mengalami pembengkakkan. Ujung hifa dari Sclerocystis memiliki banyak cabang dan tiap-tiap cabang tersebut membentuk chlamidospora hingga terbentuk sporocarp dimana apabila dibelah akan terlihat bentuknya seperti belahan jeruk. Sporocarp biasanya berbentuk globose atau subglobose.
3. Gigaspora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose, subglobose namun sering berbentuk ovoid, pyriformis atau irregular. Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada mulanya berasal dari ujung hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut suspensor, kemudian di atas bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora. Karena spora tersebut terbentuk dari suspensor maka dinamakan azygospora.
4. Scutellospora
Struktur spora yang terbentuk biasanya globose atau subglobose tetapi sering berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis atau irregular. Proses terbentuknya spora pada Scutellospora sama dengan pembentukkan spora pada genus Gigaspora. Namun yang membedakan dengan genus Gigaspora adalah pada Scutellospora terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan keluar dari germination shield tersebut.
5. Acaulospora
Spora terbentuk di tanah, memiliki bentuk globose, subglobose, ellipsoid maupun fusiformis. Pada awalnya proses dari pembentukkan spora seolah-olah dimulai dari hifa, namun sebenarnya bukanlah dari hifa. Pada awalnya terjadi pembengkakkan ujung hifa yang strukturnya mirip spora yang dibuat hifa terminus. Kemudian muncul bulatan kecil yang terbentuk diantara hifa terminus dan subtending hifa, selama proses pembentukkan spora, hifa terminus tersebut akan rusak dan di dalamnya terdapat spora. Pada spora yang telah masak terdapat satu lubang yang dinamakan ciatric.
6. Enterophospora
Proses pembentukkan spora Enterophospora hampir sama dengan proses pembentukkan spora pada Acaulospora. Yang membedakan keduanya adalah pada proses perkembangan azygospora berada di dalam, sehingga akan terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang.
2.6 Asosiasi Mikoriza dengan Akar Tanaman
Asosiasi terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung)(Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cendawan Mikoriza Arbuskula
Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida.
2.7.1 Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan dan pembentukan CMA melalui tiga tahap :
(1) Perkecambahan spora dalam tanah
(2) Penetrasi hifa ke dalam sel akar
(3) Perkembangan hifa di dalam korteks akar.
Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya. Beberapa Gigaspora yang diisolasi dari tanah Florida, di wilayah subtropika, mengalami perkecambahan paling baik pada suhu 340C, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah yang beriklim dingin, suhu potimal untuk perkecambahan adalah 200C. Penetrasi dan perkecambahan hifa dalam akar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi akar oleh CMA meningkat dengan naiknya suhu (Anas, 1993).
Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan dan aktifitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 400C. Suhu bukan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981 dalam Widiarti 2007).
2.7.2 Kadar Air Tanah
Meskipun CMA dapat pula terbentuk pada tanaman air, pada umumnya diyakini bahwa perkembangannya sangat terhambat pada kondisi tanah yang tergenang. Pengetahuan tentang ekofisiologi CMA dalam hubungannya dengan potensial air tanah penting untuk menilai CMA di daerah tersebut.
Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Tanaman yang tidak ber-CMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman yang memiliki CMA.(Anonim, 2008)
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah :
(1) Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun, sehingga transpor air ke akar meningkat.
(2) Tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula.
(3) Adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-CMA lebih mampu mendapatkan air dari pada tanaman yang tidak ber-CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam berat tanah lebih cepat menurun.
(4) Tanaman bermikoriza tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang ekonomis. Terdapat hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza, jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit dari tanaman tidak bermikoriza.
(5) Pengaruh tidak langsung karena adanya miselium eksternal menyebabkan CMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.
2.7.3 pH Tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptis masing-masing spesies CMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Perubahan pH tanah melalui pengapuran akan berdampak merugikan perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah, sehingga pembentukan mikoriza menurun.
2.7.4 Cahaya dan Ketersediaan Hara
Gardemann (1983) dalam Anas (1993) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dan kekahatan nitrogen dan fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang relatif aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun maka infeksi CMA meningkat.
Peran mikoriza yang erat kaitannya dengan P bagi tanaman menunjukkan keterkaitan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang, konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan oleh konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas, 1993)
2.7.5 Pengaruh Logam Berat dan Unsur Lain
Pada tanah-tanah tropika sering terdapat permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pengaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium dan mangan.
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium berkurang jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca dalam tanah mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah ini memiliki derajat infeksi yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena Ca2+ memelihara integritas sel.(Anonim, 2008)
Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui bahwa strain-strain tertentu mamapu toleran terhadap kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi (Mosse, 1981 dalam Anas, 1991)
2.7.6 Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit, beberapa fungisida meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu menyebabkan menurunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P. Pemakaian fungisida dapat membunuh CMA yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.(Anonim, 2008)
2.8 Manfaat Mikoriza
Nuharama (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada lima hal yang dapat membantu perkembangan tumbuhan dengan adanya mikoriza (Subiska, 2002 dalam Widirati 2007), yaitu :
1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar
3. Mikoriza meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
4. Mikoriza meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin
5. Menjamin terselenggaranya proses biogeokimia
Menurut Andurrani Muia, mikoriza juga mempunyai manfaat yang besar untuk pembangunan hutan terutama pada lahan kritis atau marginal. Manfaat tersebut yaitu mikoriza sebagai biofertilizer bagi tanaman kehutanan serta sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan, keracunan logam berat dan patogen.
2.8.1 Mikoriza sebagai Biofertilizer bagi Tanaman Kehutanan
Para peneliti telah banyak membuktikan bahwa cendawan ini mampu meningkatkan penyerapan unsur hara (terutam fosfat) dan beberapa hara mikro. Hareley, 1968 dan Gianinazzi Pearson, (1981) dalam Muin mengatakan bahwa kebanyakan akar tanaman yang berasosiasi dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai simbiosis diketahui meningkatkan hara fosfat tanaman. Dijelaskan oleh Sieverding (1991) bahwa cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Bolan (1991) mengatakan bahwa fosfat adalah unsur hara utama yang mampu diserap oleh tanaman bermikoriza. Selain itu dapat juga menyerap NH (Hogber, 1989) dan juga unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Mo (De la Cruz, 1991 dalam Setiadi).
2.8.2 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Kekeringan
Garbaye dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa asosiasi cendawan arbuskular-veskular mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air yang sympastis. Selain telah pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di bawah titik layu permanen, dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi tanaman nonmikoriza. Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang paling kecil dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut menyebabkan tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana kekeringan (Muin, 2001 dalam Widiarti, 2007)
2.8.3 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Keracunan Logam Berat
Sejumlah penelitian VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn dan Cu. Logam-logam yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar, namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. (Muin, 2001). Selain itu, pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat dapat ditingkatkan resistensinya jika dikolonisasi oleh CMA (Gildon dan Tinker, 1986), sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi.
2.8.4 Mikoriza sebagai Biokontrol Tanaman Terhadap Patogen
Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen untuk menunjukkan adanya kompetisi (Subiska, 2002 dalam Widiarti, 2007)
Sedangkan menurut Anas dan Santosa (1993), peranan lain dari mikoriza dalam pertumbuhan tumbuhan adalah sebagai produsen hormon dan zat pengatur tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti sitokinin, giberelin dan hasil metabolisme cendawan mikoriza yang berupa vitamin. Mikoriza pun mampu menggantikan kebutuhan pupuk, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga aman bagi ekosistem, membantu tanaman untuk beradaptasi dengan pH rendah, merahabilitas atau mereklamasi daerah bekas tambang, serta melindungi tanaman terhadap toksisitas logam berat karena logam berat akan diserap oleh hifa cendawan.
2.8.5 Peranan Ektomikoriza
• peningkatan unsur hara
• ketahanan terhadap kekeringan
• ketahanan serangan patogen tanah
• berpotensi untuk pembangunan hutan industry
2.8.6 Peranan Endomikoriza
• meningkatkan pertumbuhan tanaman
• meningkatkan produktivitas
• mengurangi kebutuhan pemupukan fosfat
• memproduksi bunga lebih awal
• memperpanjang masa pembungaan, pada tanaman hias
(Widiarti, 2007)
2.9 Pengamatan Mikoriza di Laboratorium
Pengamatan spora mikoriza
Sampel tanah yang akan diamati berasal dari lokasi yang disekitarnya terdapat sistem perakaran tanaman sampel. Diasumsikan bahwa apabila suatu sistem perakaran telah terinfeksi mikoriza, maka tanah disekitarnya akan mengandung spora dari mikoriza tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati dan mengidentifikasi spora mikoriza dari sampel tanah, dilakukan metoda Penyaringan Basah menurut Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007). Proses penyaringan dilakukan melalui beberapa tahapan.
1. Sampel tanah pada beberapa titik pengambilan yang berbeda dicampurkan sesuai letak plot/transek. Kemudian dari campuran tersebut diambil sebanyak 200 gram lalu dimasukkan ke dalam beaker glass.
2. Ditambahkan satu liter air kemudian diaduk selama beberapa waktu sampai merata, setalah itu diamkan campuran tersebut hingga air dan tanahnya terpisah.
3. Suspensi yang diperoleh dilewatkan pada tiga saringan yang berbeda, yaitu saringan ukuran 125 µm, 63 µm, dan 45 µm.
4. Partikel yang tertahan pada saringan 63 µm dan 45 µm dicuci dengan air bersih.
5. Partikel yang telah dicuci dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 50 rpm selama lima menit (untuk penyesuaian di lapangan, dapat diganti dengan melakukan pengendapan selama 24 jam).
6. Supernatan dibuang dan endapan ditambah larutan gula 30% sampai setengah bagian tabung sentrifuse, kemudian lakukan sentrifuse selama lima menit (untuk penyesuaian lapangan, pengocokan dilakukan dengan botol).
7. Supernatan disaring dengan saringan ukuran 45 µm lalu dicuci dengan air mengalir. Spora yang tertahan dimasukkan ke dalam cawan petri.
8. Amati di bawah mikroskop stereo binokuler kemudian dilihat bentuk, warna dan ukurannya.
Pengamatan akar yang terinfeksi mikoriza
Sampel yang akan diamati berasal dari akar sekunder dan tersier. Akar dari tumbuhan bawah ini diambil dan dipotong dengan panjang 1 cm. Kemudian akar tersebut disimpan dalam botol film. Analisis laboratorium meliputi tahap pembuatan preparat (pewarnaan) dan pengamatan di bawah mikroskop. Pembuatan preparat diawali dengan pencucian akar dengan air sampai bersih dari tanah. Setelah itu, dilakukan pewarnaan dengan metode Kormanik dan McGraw (1982).
Pada pewarnaan ini, pertama-tama potongan-potongan akar tersebut dimasukkan dalam botol film dan direndam dalam KOH 10%,akar dibersihkan dari KOH dengan bilasan akuades sebanyak 3 kali sampai warna coklat tidak tampak lagi. Setelah itu, akar direndam dalam HCl 1%. Kemudian HCl dibuang tanpa dibilas dan potongan-potongan akar tersebut ditetesi pewarna air fuchsin atau asam fuchsin asam laktat {875 ml asam laktat + 65 ml gliserin (0,2 gram fuchsin dan 62 ml air)} selama 10-60 menit. Setelah terwarnai, tahap terakhir adalah mengamati akar di bawah mikroskop.
2.10 Analisis Data Pengamatan Mikoriza
Pada setiap sampel yang berasal dari plot berbeda, spora yang dapat diamati dihitung jumlahnya dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Schenk dan Perez (1990) dalam Widiarti (2007).
Analisis data dilakukan dengan menghitung persentase keberadaan mikoriza pada setiap sampel akar yang terinfeksi menggunakan metode panjang slide(Setiadi,dkk.,1992).
Selain mengamati derajat infeksi, dilakukan juga pengamatan terhadap kehadiran beberapa struktur khusus dari mikoriza seperti kehadiran vesikula, arbuskula, dan ada tidaknya hifa eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Mikoriza. Diakses 28 Maret 2008
Anonim. 2008. http://mbojo.wordpress.com/2007/03/16/mikoriza/. Diakses 28 Maret 2008
Anonim.2008.http://www.mycorrhizas.org/files/20070222_AMI2007.pdf. Diakses 28 Maret 2008
Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Munawir. 2008. Sebaran Infeksi Mikoriza pada Akar Macodes sp di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat. Laporan Kerja Praktek. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.
Pujiyanto. 2001. Pemanfatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rao, N.S Subba.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Santosa, Dwi Andreas. 1989. Teknik dan Metode Penelitian Mikorisa Vesikular-Arbuskular. Laboraturium Biologi Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Salisbury, F.B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Bandung: Penerbit ITB.
Setiadi, Yadi, dkk. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Widiarti, Ira. 2007. Sebaran Spora Mikoriza pada Seedling di Hutan Pantai Barat Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Jatinangor: Jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran.
Kultur Jaringan (Pendahuluan)
Kultur jaringan
Staf pengampu:
Hj. Salamah Sanusi
Titin Supriatun
Hj.Tuti Susilawati
Mohamad Nurzaman
Tia Setiawati
Annisa
KULTUR JARINGAN TANAMAN
I.PENDAHULUAN
- 1.ARTI
-2. PRINSIP
-3.TUJUAN
-TERMINOLOGI
II. ASPEK-ASPEK KULTUR JARINGAN
1.MEDIA
2.EKSPLAN
III. FASE-FASE PERTUMBUHAN
PENDAHULUAN
ARTI KULTUR JARINGAN
MIKROPROPAGASI—KECIL, PERBANYAKAN
PERBANYAKAN DARI BAHAN YANG KECIL ( SEL, JARINGAN ATAU ORGAN (BAGIAN TERKECIL)----- KULTUR JARINGAN
PRINSIP: TOTIPOTENSI, PERBANYAKAN VEGETATIF DAN BEBAS HAMA
TOTIPOTENSI:
KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL dari Scleiden &Schwann (1838)
TEORI SEL:
1. Sel adalah suatu struktur organisme hidup
2. Sel adalah satuan fungsi dalam organisme hidup
3. Semua sel berasal dari sel yang telah ada
Pemahaman kultur jaringan sebaiknya memahami juga tentang:
SIKLUS HIDUP TANAMAN
STRUKTUR TANAMAN (MORFOLOGI&ANATOMI)
FISIOLOGI TUMBUHAN--(METABOLISME, NUTRISI/HARA, FITOHORMON
MORFOGENESIS TUMBUHAN
TUJUAN KULTUR JARINGAN:
MEMPERBANYAK
MENINGKATKAN BAHAN PRIMER / SEKUNDER
-PLASMA NUTFAH
-MENDAPATKAN TANAMAN YANG TOLERAN
-MENDAPATKAN TANAMAN BEBAS VIRUS
-HYBRID
Intinya--Sesuai dengan kegunaan
TERMINOLOGI
TOTIPOTENSI: KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL :DIKEMUKAKAN OLEH SCLEIDEN &SCHWANN (1833); YAITU SUATU ORGANISME TERKECIL (SEL) YANG MAMPU BERAKTIVITAS HIDUP (METABOLISME, TUMBUH & BEREPRODUKSI)
PERBANYAKAN VEGETATIF: PERBANYAKAN TANAMAN TIDAK MELALUI FERTILISASI
ASEPTIK: BEBAS MIKROORGANISME (LINGKUNGAN YANG STERIL)
EKSPLAN: BAHAN TANAMAN, BERUPA SEL, JARINGAN ATAU ORGAN YANG DIISOLASI DAN SIAP UNTUK DITANAM/DIPELIHARA PADA MEDIUM YANG STERIL
KALUS (CALLUS): KUMPULAN SEL YANG AKTIF MEMBELAH (MERISTEM / EMBRIONIK), BELUM TERORGANISIR, TIDAK BERATURAN & BELUM TERDIFERENSIASI.
KLONAL (CLONE): HASIL PROPAGASI DARI KULTUR SEL, JARINGAN ATAU ORGAN TANAMAN YANG MEMPUNYAI SIFAT GENETIK YANG IDENTIK DENGAN INDUK
ADVENTIV: PERKEMBANGAN ORGAN ( TUNAS ATAU AKAR) BUKAN PADA TEMPATNYA
PLANTLET (PINAK): TANAMAN KECIL SEMPURNA (BERDAUN, BATANG DAN AKAR) HASIL KULTUR JARINGAN.
BROWNING:TIMBULNYA WARNA COKLAT PADA KALUS AKIBAT ADANYA KEGIATAN ENZIM OKSIDASE ATAU ADANYA OKASIDASI FENOL, SEHINGGA TERBENTUNYA PERSENYAWAAN FENOL/PHENOLIC COMPOUND)
AKLIMATISASI: TAHAP PENYESUAIAN DARI HETEROTROF KE AUTOTROF
DIFERENSIASI: TERBENTUKNYA JARINGAN, ORGAN (AKAR, TUNAS) KARENA ADANYA PERKEMBANGAN
DEDIFERENSIASI: PEMBENTUKAN JARINGAN YANG EMBRIONIK YANG BERASAL DARI JARINGAN ATAU DARI ORGAN YANG TELAH TERBENTUK
JARINGAN EMBRIONIK: JARINGAN YANG SIFAT SEL-SELNYA SELALU MEMBELAH
REGENERASI: PEMBENTUKAN KEMBALI ORGAN ATAU JARINGAN MENJADI TANAMAN UTUH
SOMAKLONAL:TANAMAN HASIL PERBANYAKAN MELALUI REGENERASI SEL SOMATIK ATAU HASIL DIFERENSIASI SEL-SEL SOMATIK
KARIOPRESERVASI (KCRYPRESERVATION):PENYIMPANAN SEL, JARINGAN, EMBRIO ATAU BIJI DALAM KONDISI LINGKUNGAN TEMPERATUR MINUS
SUB-KULTUR: PEMINDAHAN EKSPLAN DARI MEDIUM LAMA KE MEDIUM BARU
HETEROKARION(HETEROKARYON): SEL YANG DIDALAM SITOPLASMANYA TERDAPAT DUA ATAU BEBERAPA INTI & MERUPAKAN HASIL PELEBURAN DARI DUA SEL YANG BERBEDA SECARA GENETIS.
HOMOKARION (HOMOKARYON): Sel yang di dalam sitoplasmanya terdapat dua atau beberapa inti dan merupakan hasil fusi dari dua sel yang identik
SINKARION: Sel-sel hybrid yang memiliki inti gabungan dari 2 atau beberapa sel yang melebur
SIBRID (CYBRID): hasil peleburan dari sitoplasma (cairan plasma) ke sel yang lain.
CELL LINE (LINI SEL):Sel turunan dari kultur sel primer yang di subkultur pada periode yang cukup lama
EMBRIOGENESIS: Pembentukan embrio baik dari zigot (embrio zigotik) atau sel-sel somatik (embrio somatik)
HUBUNGAN BIOTEK DENGAN KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
-REKAYASA GENETIK
-TRANSGENIK
-FUSI PROTOPLAS à HIBRIDASI
-KULTUR JARINGAN
PERTANIAN
FARMASIMENDAPATKAN METABOLIT SEKUNDER, Mis: dari tanaman Catharanthus roseus -Katarantin
- Ajmalisin
APLIKASI MIKROPROPAGASI
PERTANIAN
-KLONING DALAM SKALA KECIL
-PRODUKSI TANAMAN BEBAS PATOGEN
-PENYIMPAN PLASMA NUTFAH
-PRODUKSI BENIH
-PRODUKSI MASSA
KEUNTUNGAN KULTUR JARINGAN
1.PERBANYAKAN MASAL
2.TIDAK TERGANTUNG MUSIM
3.MENDAPATKAN TANAMAN YANG UNGGUL
4.MUDAH DITRANSPORTASI
5.DAPAT MENYIMPAN PLASMA NUTFAH
6.MENDAPATKAN BAHAN SEKUNDER PADA WAKTU RELATIF CEPAT
YANG MEMERLUKAN KULTUR JARINGAN
-PERSENTASE PERKECAMBAHAN RENDAH
-TANAMAN HIBRIDA
-SULIT BERBIJI---:PISANG, STROBERY, dlsb
KEGUNAAN-SESUAI DENGAN TUJUAN
-PERBANYAKAN KLON YANG SIFATNYA UNGGUL
-MENGHEMAT WAKTU YANG RELATIF SINGKAT
-PERBAIKAN MUTU--MENGUBAH SIFAT GENETIS
-MENDAPATKAN TANAMAN TOLERAN
-BEBAS VIRUS
FASE-FASE PERTUMBUHAN
1.DIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI BENTUK SEMULA,AKIBAT ADANYA PERKEMBANGAN
DARI EKSPLAN--KALUS-TUNAS-PINAK / PLANTLET
2.DEDIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI ORGAN (SUDAH TERDIFERENSIASI) MENJADI KALUS (KEMBALI MENJADI BERSIFAT EMBRIONIK)
TUJUAN UNTUK MEDAPATKAN BAHAN METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENDAPATKAN BAHAN AKTIF (ALKALOID)
3.REGENERASI
PROSES PEMBENTUKAN UNTUK MENYEMPURNAKAN TANAMAN MENJADI LENGKAP
TUNAS--TUNAS MENJADI BANYAK-Akar
MASALAH-MASALAH DALAM KULTUR JARINGAN
1. KONTAMINASI
MASUKNYA MIKROORGANISME KE DALAM MEDIA, SEHINGGA EKSPLAN TERHAMBAT TUMBUHNYA ATAU PADA MEDIA DITUMBUHI JAMUR /BAKTERI
JAMUR: MEDIA DITUMBUHI HIFA
BAKTERI: MEDIA BERLENDIR
2.BROWNING / BLACKNING
EKSPLAN ATAU KALUS MENJADI COKLAT ATAU HITAM, KARENA ADANYA PERSENYAWAAN FENOLIK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN EKSPLAN
SENYAWA FENOLIK-TANAMAN BANYAK MENGANDUNG TANIN
3.VITRIFIKASI
TERJADI PADA TAHAP AKLIMATISASI
PENYEBAB:
1.PERBEDAAN KELEMBABAN IN VTRO DAN LAPANGAN
3.PEMAKAIBN BAP (BENZYL ADENIN PURIN) TERLALU TINGGI
4. BERASAL DARI MEDIA YANG GARAM MINERALNYA TINGGI
5.MENGANDUNG ETHYLENE ATAU AMONIUM
6. BERASAL DARI MEDIACAR
7.OSMOTIKNYA TINGGI
MENANGGULANGI VITRIFIKASI
MEDIA DI TAMBAH GULA (STABILITOR)
GEJALA VITRIFIKASI:
BATANG LICIN DAN TIDAK BERLIGNIN
BERDAUN TEBAL & KAKU
DIKELLUARKAN DARI MEDIA LANGSUNG MATI
LANGKAH-LANGKAH UTAMA KULTUR JARINGAN
1.KEBERSIHAN ALAT
2.PERSYARATAN LABORATORIUM
3.PEMBUATAN MEDIA
4.MENYIAPKAN BAHAN
Staf pengampu:
Hj. Salamah Sanusi
Titin Supriatun
Hj.Tuti Susilawati
Mohamad Nurzaman
Tia Setiawati
Annisa
KULTUR JARINGAN TANAMAN
I.PENDAHULUAN
- 1.ARTI
-2. PRINSIP
-3.TUJUAN
-TERMINOLOGI
II. ASPEK-ASPEK KULTUR JARINGAN
1.MEDIA
2.EKSPLAN
III. FASE-FASE PERTUMBUHAN
PENDAHULUAN
ARTI KULTUR JARINGAN
MIKROPROPAGASI—KECIL, PERBANYAKAN
PERBANYAKAN DARI BAHAN YANG KECIL ( SEL, JARINGAN ATAU ORGAN (BAGIAN TERKECIL)----- KULTUR JARINGAN
PRINSIP: TOTIPOTENSI, PERBANYAKAN VEGETATIF DAN BEBAS HAMA
TOTIPOTENSI:
KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL dari Scleiden &Schwann (1838)
TEORI SEL:
1. Sel adalah suatu struktur organisme hidup
2. Sel adalah satuan fungsi dalam organisme hidup
3. Semua sel berasal dari sel yang telah ada
Pemahaman kultur jaringan sebaiknya memahami juga tentang:
SIKLUS HIDUP TANAMAN
STRUKTUR TANAMAN (MORFOLOGI&ANATOMI)
FISIOLOGI TUMBUHAN--(METABOLISME, NUTRISI/HARA, FITOHORMON
MORFOGENESIS TUMBUHAN
TUJUAN KULTUR JARINGAN:
MEMPERBANYAK
MENINGKATKAN BAHAN PRIMER / SEKUNDER
-PLASMA NUTFAH
-MENDAPATKAN TANAMAN YANG TOLERAN
-MENDAPATKAN TANAMAN BEBAS VIRUS
-HYBRID
Intinya--Sesuai dengan kegunaan
TERMINOLOGI
TOTIPOTENSI: KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL :DIKEMUKAKAN OLEH SCLEIDEN &SCHWANN (1833); YAITU SUATU ORGANISME TERKECIL (SEL) YANG MAMPU BERAKTIVITAS HIDUP (METABOLISME, TUMBUH & BEREPRODUKSI)
PERBANYAKAN VEGETATIF: PERBANYAKAN TANAMAN TIDAK MELALUI FERTILISASI
ASEPTIK: BEBAS MIKROORGANISME (LINGKUNGAN YANG STERIL)
EKSPLAN: BAHAN TANAMAN, BERUPA SEL, JARINGAN ATAU ORGAN YANG DIISOLASI DAN SIAP UNTUK DITANAM/DIPELIHARA PADA MEDIUM YANG STERIL
KALUS (CALLUS): KUMPULAN SEL YANG AKTIF MEMBELAH (MERISTEM / EMBRIONIK), BELUM TERORGANISIR, TIDAK BERATURAN & BELUM TERDIFERENSIASI.
KLONAL (CLONE): HASIL PROPAGASI DARI KULTUR SEL, JARINGAN ATAU ORGAN TANAMAN YANG MEMPUNYAI SIFAT GENETIK YANG IDENTIK DENGAN INDUK
ADVENTIV: PERKEMBANGAN ORGAN ( TUNAS ATAU AKAR) BUKAN PADA TEMPATNYA
PLANTLET (PINAK): TANAMAN KECIL SEMPURNA (BERDAUN, BATANG DAN AKAR) HASIL KULTUR JARINGAN.
BROWNING:TIMBULNYA WARNA COKLAT PADA KALUS AKIBAT ADANYA KEGIATAN ENZIM OKSIDASE ATAU ADANYA OKASIDASI FENOL, SEHINGGA TERBENTUNYA PERSENYAWAAN FENOL/PHENOLIC COMPOUND)
AKLIMATISASI: TAHAP PENYESUAIAN DARI HETEROTROF KE AUTOTROF
DIFERENSIASI: TERBENTUKNYA JARINGAN, ORGAN (AKAR, TUNAS) KARENA ADANYA PERKEMBANGAN
DEDIFERENSIASI: PEMBENTUKAN JARINGAN YANG EMBRIONIK YANG BERASAL DARI JARINGAN ATAU DARI ORGAN YANG TELAH TERBENTUK
JARINGAN EMBRIONIK: JARINGAN YANG SIFAT SEL-SELNYA SELALU MEMBELAH
REGENERASI: PEMBENTUKAN KEMBALI ORGAN ATAU JARINGAN MENJADI TANAMAN UTUH
SOMAKLONAL:TANAMAN HASIL PERBANYAKAN MELALUI REGENERASI SEL SOMATIK ATAU HASIL DIFERENSIASI SEL-SEL SOMATIK
KARIOPRESERVASI (KCRYPRESERVATION):PENYIMPANAN SEL, JARINGAN, EMBRIO ATAU BIJI DALAM KONDISI LINGKUNGAN TEMPERATUR MINUS
SUB-KULTUR: PEMINDAHAN EKSPLAN DARI MEDIUM LAMA KE MEDIUM BARU
HETEROKARION(HETEROKARYON): SEL YANG DIDALAM SITOPLASMANYA TERDAPAT DUA ATAU BEBERAPA INTI & MERUPAKAN HASIL PELEBURAN DARI DUA SEL YANG BERBEDA SECARA GENETIS.
HOMOKARION (HOMOKARYON): Sel yang di dalam sitoplasmanya terdapat dua atau beberapa inti dan merupakan hasil fusi dari dua sel yang identik
SINKARION: Sel-sel hybrid yang memiliki inti gabungan dari 2 atau beberapa sel yang melebur
SIBRID (CYBRID): hasil peleburan dari sitoplasma (cairan plasma) ke sel yang lain.
CELL LINE (LINI SEL):Sel turunan dari kultur sel primer yang di subkultur pada periode yang cukup lama
EMBRIOGENESIS: Pembentukan embrio baik dari zigot (embrio zigotik) atau sel-sel somatik (embrio somatik)
HUBUNGAN BIOTEK DENGAN KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
-REKAYASA GENETIK
-TRANSGENIK
-FUSI PROTOPLAS à HIBRIDASI
-KULTUR JARINGAN
PERTANIAN
FARMASIMENDAPATKAN METABOLIT SEKUNDER, Mis: dari tanaman Catharanthus roseus -Katarantin
- Ajmalisin
APLIKASI MIKROPROPAGASI
PERTANIAN
-KLONING DALAM SKALA KECIL
-PRODUKSI TANAMAN BEBAS PATOGEN
-PENYIMPAN PLASMA NUTFAH
-PRODUKSI BENIH
-PRODUKSI MASSA
KEUNTUNGAN KULTUR JARINGAN
1.PERBANYAKAN MASAL
2.TIDAK TERGANTUNG MUSIM
3.MENDAPATKAN TANAMAN YANG UNGGUL
4.MUDAH DITRANSPORTASI
5.DAPAT MENYIMPAN PLASMA NUTFAH
6.MENDAPATKAN BAHAN SEKUNDER PADA WAKTU RELATIF CEPAT
YANG MEMERLUKAN KULTUR JARINGAN
-PERSENTASE PERKECAMBAHAN RENDAH
-TANAMAN HIBRIDA
-SULIT BERBIJI---:PISANG, STROBERY, dlsb
KEGUNAAN-SESUAI DENGAN TUJUAN
-PERBANYAKAN KLON YANG SIFATNYA UNGGUL
-MENGHEMAT WAKTU YANG RELATIF SINGKAT
-PERBAIKAN MUTU--MENGUBAH SIFAT GENETIS
-MENDAPATKAN TANAMAN TOLERAN
-BEBAS VIRUS
FASE-FASE PERTUMBUHAN
1.DIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI BENTUK SEMULA,AKIBAT ADANYA PERKEMBANGAN
DARI EKSPLAN--KALUS-TUNAS-PINAK / PLANTLET
2.DEDIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI ORGAN (SUDAH TERDIFERENSIASI) MENJADI KALUS (KEMBALI MENJADI BERSIFAT EMBRIONIK)
TUJUAN UNTUK MEDAPATKAN BAHAN METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENDAPATKAN BAHAN AKTIF (ALKALOID)
3.REGENERASI
PROSES PEMBENTUKAN UNTUK MENYEMPURNAKAN TANAMAN MENJADI LENGKAP
TUNAS--TUNAS MENJADI BANYAK-Akar
MASALAH-MASALAH DALAM KULTUR JARINGAN
1. KONTAMINASI
MASUKNYA MIKROORGANISME KE DALAM MEDIA, SEHINGGA EKSPLAN TERHAMBAT TUMBUHNYA ATAU PADA MEDIA DITUMBUHI JAMUR /BAKTERI
JAMUR: MEDIA DITUMBUHI HIFA
BAKTERI: MEDIA BERLENDIR
2.BROWNING / BLACKNING
EKSPLAN ATAU KALUS MENJADI COKLAT ATAU HITAM, KARENA ADANYA PERSENYAWAAN FENOLIK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN EKSPLAN
SENYAWA FENOLIK-TANAMAN BANYAK MENGANDUNG TANIN
3.VITRIFIKASI
TERJADI PADA TAHAP AKLIMATISASI
PENYEBAB:
1.PERBEDAAN KELEMBABAN IN VTRO DAN LAPANGAN
3.PEMAKAIBN BAP (BENZYL ADENIN PURIN) TERLALU TINGGI
4. BERASAL DARI MEDIA YANG GARAM MINERALNYA TINGGI
5.MENGANDUNG ETHYLENE ATAU AMONIUM
6. BERASAL DARI MEDIACAR
7.OSMOTIKNYA TINGGI
MENANGGULANGI VITRIFIKASI
MEDIA DI TAMBAH GULA (STABILITOR)
GEJALA VITRIFIKASI:
BATANG LICIN DAN TIDAK BERLIGNIN
BERDAUN TEBAL & KAKU
DIKELLUARKAN DARI MEDIA LANGSUNG MATI
LANGKAH-LANGKAH UTAMA KULTUR JARINGAN
1.KEBERSIHAN ALAT
2.PERSYARATAN LABORATORIUM
3.PEMBUATAN MEDIA
4.MENYIAPKAN BAHAN
Kultur Jaringan (Pendahuluan)
Kultur jaringan
Staf pengampu:
Hj. Salamah Sanusi
Titin Supriatun
Hj.Tuti Susilawati
Mohamad Nurzaman
Tia Setiawati
Annisa
KULTUR JARINGAN TANAMAN
I.PENDAHULUAN
- 1.ARTI
-2. PRINSIP
-3.TUJUAN
-TERMINOLOGI
II. ASPEK-ASPEK KULTUR JARINGAN
1.MEDIA
2.EKSPLAN
III. FASE-FASE PERTUMBUHAN
PENDAHULUAN
ARTI KULTUR JARINGAN
MIKROPROPAGASI—KECIL, PERBANYAKAN
PERBANYAKAN DARI BAHAN YANG KECIL ( SEL, JARINGAN ATAU ORGAN (BAGIAN TERKECIL)----- KULTUR JARINGAN
PRINSIP: TOTIPOTENSI, PERBANYAKAN VEGETATIF DAN BEBAS HAMA
TOTIPOTENSI:
KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL dari Scleiden &Schwann (1838)
TEORI SEL:
1. Sel adalah suatu struktur organisme hidup
2. Sel adalah satuan fungsi dalam organisme hidup
3. Semua sel berasal dari sel yang telah ada
Pemahaman kultur jaringan sebaiknya memahami juga tentang:
SIKLUS HIDUP TANAMAN
STRUKTUR TANAMAN (MORFOLOGI&ANATOMI)
FISIOLOGI TUMBUHAN--(METABOLISME, NUTRISI/HARA, FITOHORMON
MORFOGENESIS TUMBUHAN
TUJUAN KULTUR JARINGAN:
MEMPERBANYAK
MENINGKATKAN BAHAN PRIMER / SEKUNDER
-PLASMA NUTFAH
-MENDAPATKAN TANAMAN YANG TOLERAN
-MENDAPATKAN TANAMAN BEBAS VIRUS
-HYBRID
Intinya--Sesuai dengan kegunaan
TERMINOLOGI
TOTIPOTENSI: KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL :DIKEMUKAKAN OLEH SCLEIDEN &SCHWANN (1833); YAITU SUATU ORGANISME TERKECIL (SEL) YANG MAMPU BERAKTIVITAS HIDUP (METABOLISME, TUMBUH & BEREPRODUKSI)
PERBANYAKAN VEGETATIF: PERBANYAKAN TANAMAN TIDAK MELALUI FERTILISASI
ASEPTIK: BEBAS MIKROORGANISME (LINGKUNGAN YANG STERIL)
EKSPLAN: BAHAN TANAMAN, BERUPA SEL, JARINGAN ATAU ORGAN YANG DIISOLASI DAN SIAP UNTUK DITANAM/DIPELIHARA PADA MEDIUM YANG STERIL
KALUS (CALLUS): KUMPULAN SEL YANG AKTIF MEMBELAH (MERISTEM / EMBRIONIK), BELUM TERORGANISIR, TIDAK BERATURAN & BELUM TERDIFERENSIASI.
KLONAL (CLONE): HASIL PROPAGASI DARI KULTUR SEL, JARINGAN ATAU ORGAN TANAMAN YANG MEMPUNYAI SIFAT GENETIK YANG IDENTIK DENGAN INDUK
ADVENTIV: PERKEMBANGAN ORGAN ( TUNAS ATAU AKAR) BUKAN PADA TEMPATNYA
PLANTLET (PINAK): TANAMAN KECIL SEMPURNA (BERDAUN, BATANG DAN AKAR) HASIL KULTUR JARINGAN.
BROWNING:TIMBULNYA WARNA COKLAT PADA KALUS AKIBAT ADANYA KEGIATAN ENZIM OKSIDASE ATAU ADANYA OKASIDASI FENOL, SEHINGGA TERBENTUNYA PERSENYAWAAN FENOL/PHENOLIC COMPOUND)
AKLIMATISASI: TAHAP PENYESUAIAN DARI HETEROTROF KE AUTOTROF
DIFERENSIASI: TERBENTUKNYA JARINGAN, ORGAN (AKAR, TUNAS) KARENA ADANYA PERKEMBANGAN
DEDIFERENSIASI: PEMBENTUKAN JARINGAN YANG EMBRIONIK YANG BERASAL DARI JARINGAN ATAU DARI ORGAN YANG TELAH TERBENTUK
JARINGAN EMBRIONIK: JARINGAN YANG SIFAT SEL-SELNYA SELALU MEMBELAH
REGENERASI: PEMBENTUKAN KEMBALI ORGAN ATAU JARINGAN MENJADI TANAMAN UTUH
SOMAKLONAL:TANAMAN HASIL PERBANYAKAN MELALUI REGENERASI SEL SOMATIK ATAU HASIL DIFERENSIASI SEL-SEL SOMATIK
KARIOPRESERVASI (KCRYPRESERVATION):PENYIMPANAN SEL, JARINGAN, EMBRIO ATAU BIJI DALAM KONDISI LINGKUNGAN TEMPERATUR MINUS
SUB-KULTUR: PEMINDAHAN EKSPLAN DARI MEDIUM LAMA KE MEDIUM BARU
HETEROKARION(HETEROKARYON): SEL YANG DIDALAM SITOPLASMANYA TERDAPAT DUA ATAU BEBERAPA INTI & MERUPAKAN HASIL PELEBURAN DARI DUA SEL YANG BERBEDA SECARA GENETIS.
HOMOKARION (HOMOKARYON): Sel yang di dalam sitoplasmanya terdapat dua atau beberapa inti dan merupakan hasil fusi dari dua sel yang identik
SINKARION: Sel-sel hybrid yang memiliki inti gabungan dari 2 atau beberapa sel yang melebur
SIBRID (CYBRID): hasil peleburan dari sitoplasma (cairan plasma) ke sel yang lain.
CELL LINE (LINI SEL):Sel turunan dari kultur sel primer yang di subkultur pada periode yang cukup lama
EMBRIOGENESIS: Pembentukan embrio baik dari zigot (embrio zigotik) atau sel-sel somatik (embrio somatik)
HUBUNGAN BIOTEK DENGAN KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
-REKAYASA GENETIK
-TRANSGENIK
-FUSI PROTOPLAS à HIBRIDASI
-KULTUR JARINGAN
PERTANIAN
FARMASIMENDAPATKAN METABOLIT SEKUNDER, Mis: dari tanaman Catharanthus roseus -Katarantin
- Ajmalisin
APLIKASI MIKROPROPAGASI
PERTANIAN
-KLONING DALAM SKALA KECIL
-PRODUKSI TANAMAN BEBAS PATOGEN
-PENYIMPAN PLASMA NUTFAH
-PRODUKSI BENIH
-PRODUKSI MASSA
KEUNTUNGAN KULTUR JARINGAN
1.PERBANYAKAN MASAL
2.TIDAK TERGANTUNG MUSIM
3.MENDAPATKAN TANAMAN YANG UNGGUL
4.MUDAH DITRANSPORTASI
5.DAPAT MENYIMPAN PLASMA NUTFAH
6.MENDAPATKAN BAHAN SEKUNDER PADA WAKTU RELATIF CEPAT
YANG MEMERLUKAN KULTUR JARINGAN
-PERSENTASE PERKECAMBAHAN RENDAH
-TANAMAN HIBRIDA
-SULIT BERBIJI---:PISANG, STROBERY, dlsb
KEGUNAAN-SESUAI DENGAN TUJUAN
-PERBANYAKAN KLON YANG SIFATNYA UNGGUL
-MENGHEMAT WAKTU YANG RELATIF SINGKAT
-PERBAIKAN MUTU--MENGUBAH SIFAT GENETIS
-MENDAPATKAN TANAMAN TOLERAN
-BEBAS VIRUS
FASE-FASE PERTUMBUHAN
1.DIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI BENTUK SEMULA,AKIBAT ADANYA PERKEMBANGAN
DARI EKSPLAN--KALUS-TUNAS-PINAK / PLANTLET
2.DEDIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI ORGAN (SUDAH TERDIFERENSIASI) MENJADI KALUS (KEMBALI MENJADI BERSIFAT EMBRIONIK)
TUJUAN UNTUK MEDAPATKAN BAHAN METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENDAPATKAN BAHAN AKTIF (ALKALOID)
3.REGENERASI
PROSES PEMBENTUKAN UNTUK MENYEMPURNAKAN TANAMAN MENJADI LENGKAP
TUNAS--TUNAS MENJADI BANYAK-Akar
MASALAH-MASALAH DALAM KULTUR JARINGAN
1. KONTAMINASI
MASUKNYA MIKROORGANISME KE DALAM MEDIA, SEHINGGA EKSPLAN TERHAMBAT TUMBUHNYA ATAU PADA MEDIA DITUMBUHI JAMUR /BAKTERI
JAMUR: MEDIA DITUMBUHI HIFA
BAKTERI: MEDIA BERLENDIR
2.BROWNING / BLACKNING
EKSPLAN ATAU KALUS MENJADI COKLAT ATAU HITAM, KARENA ADANYA PERSENYAWAAN FENOLIK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN EKSPLAN
SENYAWA FENOLIK-TANAMAN BANYAK MENGANDUNG TANIN
3.VITRIFIKASI
TERJADI PADA TAHAP AKLIMATISASI
PENYEBAB:
1.PERBEDAAN KELEMBABAN IN VTRO DAN LAPANGAN
3.PEMAKAIBN BAP (BENZYL ADENIN PURIN) TERLALU TINGGI
4. BERASAL DARI MEDIA YANG GARAM MINERALNYA TINGGI
5.MENGANDUNG ETHYLENE ATAU AMONIUM
6. BERASAL DARI MEDIACAR
7.OSMOTIKNYA TINGGI
MENANGGULANGI VITRIFIKASI
MEDIA DI TAMBAH GULA (STABILITOR)
GEJALA VITRIFIKASI:
BATANG LICIN DAN TIDAK BERLIGNIN
BERDAUN TEBAL & KAKU
DIKELLUARKAN DARI MEDIA LANGSUNG MATI
LANGKAH-LANGKAH UTAMA KULTUR JARINGAN
1.KEBERSIHAN ALAT
2.PERSYARATAN LABORATORIUM
3.PEMBUATAN MEDIA
4.MENYIAPKAN BAHAN
Staf pengampu:
Hj. Salamah Sanusi
Titin Supriatun
Hj.Tuti Susilawati
Mohamad Nurzaman
Tia Setiawati
Annisa
KULTUR JARINGAN TANAMAN
I.PENDAHULUAN
- 1.ARTI
-2. PRINSIP
-3.TUJUAN
-TERMINOLOGI
II. ASPEK-ASPEK KULTUR JARINGAN
1.MEDIA
2.EKSPLAN
III. FASE-FASE PERTUMBUHAN
PENDAHULUAN
ARTI KULTUR JARINGAN
MIKROPROPAGASI—KECIL, PERBANYAKAN
PERBANYAKAN DARI BAHAN YANG KECIL ( SEL, JARINGAN ATAU ORGAN (BAGIAN TERKECIL)----- KULTUR JARINGAN
PRINSIP: TOTIPOTENSI, PERBANYAKAN VEGETATIF DAN BEBAS HAMA
TOTIPOTENSI:
KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL dari Scleiden &Schwann (1838)
TEORI SEL:
1. Sel adalah suatu struktur organisme hidup
2. Sel adalah satuan fungsi dalam organisme hidup
3. Semua sel berasal dari sel yang telah ada
Pemahaman kultur jaringan sebaiknya memahami juga tentang:
SIKLUS HIDUP TANAMAN
STRUKTUR TANAMAN (MORFOLOGI&ANATOMI)
FISIOLOGI TUMBUHAN--(METABOLISME, NUTRISI/HARA, FITOHORMON
MORFOGENESIS TUMBUHAN
TUJUAN KULTUR JARINGAN:
MEMPERBANYAK
MENINGKATKAN BAHAN PRIMER / SEKUNDER
-PLASMA NUTFAH
-MENDAPATKAN TANAMAN YANG TOLERAN
-MENDAPATKAN TANAMAN BEBAS VIRUS
-HYBRID
Intinya--Sesuai dengan kegunaan
TERMINOLOGI
TOTIPOTENSI: KEMAMPUAN SEL UNTUK TUMBUH PADA TEMPAT YANG SESUAI
TEORI SEL :DIKEMUKAKAN OLEH SCLEIDEN &SCHWANN (1833); YAITU SUATU ORGANISME TERKECIL (SEL) YANG MAMPU BERAKTIVITAS HIDUP (METABOLISME, TUMBUH & BEREPRODUKSI)
PERBANYAKAN VEGETATIF: PERBANYAKAN TANAMAN TIDAK MELALUI FERTILISASI
ASEPTIK: BEBAS MIKROORGANISME (LINGKUNGAN YANG STERIL)
EKSPLAN: BAHAN TANAMAN, BERUPA SEL, JARINGAN ATAU ORGAN YANG DIISOLASI DAN SIAP UNTUK DITANAM/DIPELIHARA PADA MEDIUM YANG STERIL
KALUS (CALLUS): KUMPULAN SEL YANG AKTIF MEMBELAH (MERISTEM / EMBRIONIK), BELUM TERORGANISIR, TIDAK BERATURAN & BELUM TERDIFERENSIASI.
KLONAL (CLONE): HASIL PROPAGASI DARI KULTUR SEL, JARINGAN ATAU ORGAN TANAMAN YANG MEMPUNYAI SIFAT GENETIK YANG IDENTIK DENGAN INDUK
ADVENTIV: PERKEMBANGAN ORGAN ( TUNAS ATAU AKAR) BUKAN PADA TEMPATNYA
PLANTLET (PINAK): TANAMAN KECIL SEMPURNA (BERDAUN, BATANG DAN AKAR) HASIL KULTUR JARINGAN.
BROWNING:TIMBULNYA WARNA COKLAT PADA KALUS AKIBAT ADANYA KEGIATAN ENZIM OKSIDASE ATAU ADANYA OKASIDASI FENOL, SEHINGGA TERBENTUNYA PERSENYAWAAN FENOL/PHENOLIC COMPOUND)
AKLIMATISASI: TAHAP PENYESUAIAN DARI HETEROTROF KE AUTOTROF
DIFERENSIASI: TERBENTUKNYA JARINGAN, ORGAN (AKAR, TUNAS) KARENA ADANYA PERKEMBANGAN
DEDIFERENSIASI: PEMBENTUKAN JARINGAN YANG EMBRIONIK YANG BERASAL DARI JARINGAN ATAU DARI ORGAN YANG TELAH TERBENTUK
JARINGAN EMBRIONIK: JARINGAN YANG SIFAT SEL-SELNYA SELALU MEMBELAH
REGENERASI: PEMBENTUKAN KEMBALI ORGAN ATAU JARINGAN MENJADI TANAMAN UTUH
SOMAKLONAL:TANAMAN HASIL PERBANYAKAN MELALUI REGENERASI SEL SOMATIK ATAU HASIL DIFERENSIASI SEL-SEL SOMATIK
KARIOPRESERVASI (KCRYPRESERVATION):PENYIMPANAN SEL, JARINGAN, EMBRIO ATAU BIJI DALAM KONDISI LINGKUNGAN TEMPERATUR MINUS
SUB-KULTUR: PEMINDAHAN EKSPLAN DARI MEDIUM LAMA KE MEDIUM BARU
HETEROKARION(HETEROKARYON): SEL YANG DIDALAM SITOPLASMANYA TERDAPAT DUA ATAU BEBERAPA INTI & MERUPAKAN HASIL PELEBURAN DARI DUA SEL YANG BERBEDA SECARA GENETIS.
HOMOKARION (HOMOKARYON): Sel yang di dalam sitoplasmanya terdapat dua atau beberapa inti dan merupakan hasil fusi dari dua sel yang identik
SINKARION: Sel-sel hybrid yang memiliki inti gabungan dari 2 atau beberapa sel yang melebur
SIBRID (CYBRID): hasil peleburan dari sitoplasma (cairan plasma) ke sel yang lain.
CELL LINE (LINI SEL):Sel turunan dari kultur sel primer yang di subkultur pada periode yang cukup lama
EMBRIOGENESIS: Pembentukan embrio baik dari zigot (embrio zigotik) atau sel-sel somatik (embrio somatik)
HUBUNGAN BIOTEK DENGAN KULTUR JARINGAN TUMBUHAN
-REKAYASA GENETIK
-TRANSGENIK
-FUSI PROTOPLAS à HIBRIDASI
-KULTUR JARINGAN
PERTANIAN
FARMASIMENDAPATKAN METABOLIT SEKUNDER, Mis: dari tanaman Catharanthus roseus -Katarantin
- Ajmalisin
APLIKASI MIKROPROPAGASI
PERTANIAN
-KLONING DALAM SKALA KECIL
-PRODUKSI TANAMAN BEBAS PATOGEN
-PENYIMPAN PLASMA NUTFAH
-PRODUKSI BENIH
-PRODUKSI MASSA
KEUNTUNGAN KULTUR JARINGAN
1.PERBANYAKAN MASAL
2.TIDAK TERGANTUNG MUSIM
3.MENDAPATKAN TANAMAN YANG UNGGUL
4.MUDAH DITRANSPORTASI
5.DAPAT MENYIMPAN PLASMA NUTFAH
6.MENDAPATKAN BAHAN SEKUNDER PADA WAKTU RELATIF CEPAT
YANG MEMERLUKAN KULTUR JARINGAN
-PERSENTASE PERKECAMBAHAN RENDAH
-TANAMAN HIBRIDA
-SULIT BERBIJI---:PISANG, STROBERY, dlsb
KEGUNAAN-SESUAI DENGAN TUJUAN
-PERBANYAKAN KLON YANG SIFATNYA UNGGUL
-MENGHEMAT WAKTU YANG RELATIF SINGKAT
-PERBAIKAN MUTU--MENGUBAH SIFAT GENETIS
-MENDAPATKAN TANAMAN TOLERAN
-BEBAS VIRUS
FASE-FASE PERTUMBUHAN
1.DIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI BENTUK SEMULA,AKIBAT ADANYA PERKEMBANGAN
DARI EKSPLAN--KALUS-TUNAS-PINAK / PLANTLET
2.DEDIFERENSIASI
ADANYA PERUBAHAN DARI ORGAN (SUDAH TERDIFERENSIASI) MENJADI KALUS (KEMBALI MENJADI BERSIFAT EMBRIONIK)
TUJUAN UNTUK MEDAPATKAN BAHAN METABOLIT SEKUNDER UNTUK MENDAPATKAN BAHAN AKTIF (ALKALOID)
3.REGENERASI
PROSES PEMBENTUKAN UNTUK MENYEMPURNAKAN TANAMAN MENJADI LENGKAP
TUNAS--TUNAS MENJADI BANYAK-Akar
MASALAH-MASALAH DALAM KULTUR JARINGAN
1. KONTAMINASI
MASUKNYA MIKROORGANISME KE DALAM MEDIA, SEHINGGA EKSPLAN TERHAMBAT TUMBUHNYA ATAU PADA MEDIA DITUMBUHI JAMUR /BAKTERI
JAMUR: MEDIA DITUMBUHI HIFA
BAKTERI: MEDIA BERLENDIR
2.BROWNING / BLACKNING
EKSPLAN ATAU KALUS MENJADI COKLAT ATAU HITAM, KARENA ADANYA PERSENYAWAAN FENOLIK
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN EKSPLAN
SENYAWA FENOLIK-TANAMAN BANYAK MENGANDUNG TANIN
3.VITRIFIKASI
TERJADI PADA TAHAP AKLIMATISASI
PENYEBAB:
1.PERBEDAAN KELEMBABAN IN VTRO DAN LAPANGAN
3.PEMAKAIBN BAP (BENZYL ADENIN PURIN) TERLALU TINGGI
4. BERASAL DARI MEDIA YANG GARAM MINERALNYA TINGGI
5.MENGANDUNG ETHYLENE ATAU AMONIUM
6. BERASAL DARI MEDIACAR
7.OSMOTIKNYA TINGGI
MENANGGULANGI VITRIFIKASI
MEDIA DI TAMBAH GULA (STABILITOR)
GEJALA VITRIFIKASI:
BATANG LICIN DAN TIDAK BERLIGNIN
BERDAUN TEBAL & KAKU
DIKELLUARKAN DARI MEDIA LANGSUNG MATI
LANGKAH-LANGKAH UTAMA KULTUR JARINGAN
1.KEBERSIHAN ALAT
2.PERSYARATAN LABORATORIUM
3.PEMBUATAN MEDIA
4.MENYIAPKAN BAHAN
Sample PENDAHULUAN SKRIPSI S1 Biologi Unpad
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehadiran gulma pada lahan tanaman budidaya sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi tanaman. Hal ini terjadi karena gulma memiliki daya kompetisi yang tinggi dalam memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari, CO2, dan tempat tumbuh. Selain itu, gulma juga menjadi inang alternatif bagi serangga hama, penyakit dan nematoda tertentu (Rao,2000). Dengan demikian masalah gulma baru diketahui dalam persaingan nutrien untuk tanaman pokok (produksi), sebagai komponen ekosistem kemungkinan dapat dikelola sehingga tidak merugikan tanaman budidaya.
Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan,dan gulma daun lebar (Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Gulma banyak didapatkan di lahan yang terbuka dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kurang subur, hal ini menarik untuk diamati terutama pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Menurut Sieverding (1991), bahwa tumbuhan Eupatorium odoratum dapat digunakan untuk tanaman inang dari endomikoriza, dengan demikian maka pengamatan tentang peningkatan jumlah inokulan atau propagul dari endomikoriza dapat digunakan sebagai tanaman inang.
Pemanfaatan mikoriza adalah untuk memperbaiki tingkat serapan hara terutama unsur fosfat dan air serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen tanah (Harran dan Ansori, 1993 dalam Sofyan Abdullah dkk, 2005).
Endomikoriza merupakan salah satu jenis cendawan mikoriza, menurut Setiadi (1990) mikoriza adalah suatu cendawan (Myces) yang hidup dalam perakaran (Rhyza) tumbuhan tingkat tinggi dan merupakan bentuk simbiosis antara cendawan dengan akar tanaman. Sedangkan menurut Wilarso (1990), mikoriza tersebut bersimbiosisnya dengan akar tanaman melalui hifa eksternal yang mampu meningkatkan serapan hara immobil dari dalam tanah (terutama P) sehingga dapat mengurangi gejala defisiensi dan penghematan penggunaan pupuk TSP 70 – 90%. Selain itu, mikoriza apabila menginfeksi jaringan akar tanaman maka akan ada selama tanaman tersebut hidup. Hal tersebut memungkinan diantara jenis gulma, Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum mempunyai asosiasi/simbiosis dengan jenis spora endomikoriza tertentu, dengan demikian pada tanaman tersebut diharapkan adanya spora endomikoriza indigenous, khususnya yang hidup di Arboretum.
Arboretum adalah salah satu lokasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) yang mampu menjadi daerah penyangga yang senantiasa dapat memberikan suplai air untuk kebutuhan dalam kampus. Berdasarkan penelitian Tita, (2004) menunjukkan bahwa tanaman Eupatorium odoratum terinfeksi oleh endomikoriza.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbanyakan spora endomikoroza indigenous pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum sebagai alternatif perbanyakan inokulan endomikoriza dalam bentuk kemasan. Perbanyakan inokulan endomikoriza saat ini adalah bentuk mikofer yang terdiri dari jenis-jenis spora endomikoriza dengan menggunakan medium zeolit. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas khususnya pengelola arboretum.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Jenis spora endomikoriza apakah yang terbanyak ditemukan pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
2. Struktur endomikoriza apakah yang ditemukan dalam akar tumbuhan Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
3. Berapa persentase infekasi mikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mencari tumbuhan inang yang paling baik untuk perbanyakan spora endomikoriza.
Tujuan dari penelitian ini adalah perbanyakan spora endomikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai informasi bagi berbagai pihak mengenai media mikoriza pada tanaman gulma yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.5. Pendekatan Masalah
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan, dan gulma daun lebar(Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Gulma banyak didapatkan di lahan yang terbuka dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kurang subur, hal ini menarik untuk diamati terutama pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Menurut Sieverding (1991), bahwa tumbuhan Eupatorium odoratum dapat digunakan untuk tanaman inang dari endomikoriza, dengan demikian maka pengamatan tentang peningkatan jumlah inokulan atau propagul dari endomikoriza dapat digunakan sebagai tanaman inang.
Mikoriza apabila menginfeksi jaringan akar tanaman maka akan ada selama tanaman tersebut hidup. Hal tersebut ada kemungkinan diantara jenis gulma, Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum mempunyai asosiasi/simbiosis dengan jenis spora endomikoriza tertentu. Asosiasi Endomikoriza terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung) (Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
Endomikoriza membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981), yaitu :
1. Arbuskula
Dibentuk secara intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa, tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion. Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi.
2. Vesikula
Memiliki bentuk yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa. Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan sementara.
3. Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.
Pengelolaan tanaman gulma untuk dijadikan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan, antara lain dengan adanya asosiasi dengan jenis mikoriza. Pertumbuhan tanaman gulma cepat seperti tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum sehingga memudahkan apabila dilakukan perbanyakan Endomikoriza.
1.6. Metodologi Penelitian
Metode penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap lapangan, tahap laboratorium dan tahap perbanyakan endomikoriza.
1. Tahap pertama adalah tahap lapangan meliputi survey lokasi penelitian dengan menggunakan metoda jelajah untuk mengetahui kondisi dan gambaran umum lokasi. Selain itu, dilakukan pengambilan sampel menggunakan metoda Kuadrat dengan lima buah plot pengambilan sampel. Masing-masing plot berukuran 1m x 1m.
2. Tahap kedua adalah Analisis laboratorium meliputi Mengamati dan mengidentifikasi jenis-jenis spora mikoriza yang tumbuh di sekitar perakaran Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Pengamatan spora mikoriza yang didapatkan dari sampel tanah dengan metode penyaringan basah dan kemudian dilanjutkan untuk diidentifikasi (Menurut Schenk dan Perez, 1990). pembuatan preparat basah dengan metode pewarnaan menurut Kormanik dan McGraw (1982). Setelah itu akan dilakukan penghitungan persentase infeksi dengan mengguankan metode sistematik menurut Giovanti dan Mosse (1981) dalam Setiadi dkk(1992), yaitu metode slide.
3. Tahap ketiga adalah Perbanyakan endomikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2008 di Arboretum dan Laboratorium Struktur Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNPAD.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehadiran gulma pada lahan tanaman budidaya sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi tanaman. Hal ini terjadi karena gulma memiliki daya kompetisi yang tinggi dalam memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari, CO2, dan tempat tumbuh. Selain itu, gulma juga menjadi inang alternatif bagi serangga hama, penyakit dan nematoda tertentu (Rao,2000). Dengan demikian masalah gulma baru diketahui dalam persaingan nutrien untuk tanaman pokok (produksi), sebagai komponen ekosistem kemungkinan dapat dikelola sehingga tidak merugikan tanaman budidaya.
Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan,dan gulma daun lebar (Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Gulma banyak didapatkan di lahan yang terbuka dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kurang subur, hal ini menarik untuk diamati terutama pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Menurut Sieverding (1991), bahwa tumbuhan Eupatorium odoratum dapat digunakan untuk tanaman inang dari endomikoriza, dengan demikian maka pengamatan tentang peningkatan jumlah inokulan atau propagul dari endomikoriza dapat digunakan sebagai tanaman inang.
Pemanfaatan mikoriza adalah untuk memperbaiki tingkat serapan hara terutama unsur fosfat dan air serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen tanah (Harran dan Ansori, 1993 dalam Sofyan Abdullah dkk, 2005).
Endomikoriza merupakan salah satu jenis cendawan mikoriza, menurut Setiadi (1990) mikoriza adalah suatu cendawan (Myces) yang hidup dalam perakaran (Rhyza) tumbuhan tingkat tinggi dan merupakan bentuk simbiosis antara cendawan dengan akar tanaman. Sedangkan menurut Wilarso (1990), mikoriza tersebut bersimbiosisnya dengan akar tanaman melalui hifa eksternal yang mampu meningkatkan serapan hara immobil dari dalam tanah (terutama P) sehingga dapat mengurangi gejala defisiensi dan penghematan penggunaan pupuk TSP 70 – 90%. Selain itu, mikoriza apabila menginfeksi jaringan akar tanaman maka akan ada selama tanaman tersebut hidup. Hal tersebut memungkinan diantara jenis gulma, Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum mempunyai asosiasi/simbiosis dengan jenis spora endomikoriza tertentu, dengan demikian pada tanaman tersebut diharapkan adanya spora endomikoriza indigenous, khususnya yang hidup di Arboretum.
Arboretum adalah salah satu lokasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) yang mampu menjadi daerah penyangga yang senantiasa dapat memberikan suplai air untuk kebutuhan dalam kampus. Berdasarkan penelitian Tita, (2004) menunjukkan bahwa tanaman Eupatorium odoratum terinfeksi oleh endomikoriza.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbanyakan spora endomikoroza indigenous pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum sebagai alternatif perbanyakan inokulan endomikoriza dalam bentuk kemasan. Perbanyakan inokulan endomikoriza saat ini adalah bentuk mikofer yang terdiri dari jenis-jenis spora endomikoriza dengan menggunakan medium zeolit. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas khususnya pengelola arboretum.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Jenis spora endomikoriza apakah yang terbanyak ditemukan pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
2. Struktur endomikoriza apakah yang ditemukan dalam akar tumbuhan Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
3. Berapa persentase infekasi mikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mencari tumbuhan inang yang paling baik untuk perbanyakan spora endomikoriza.
Tujuan dari penelitian ini adalah perbanyakan spora endomikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai informasi bagi berbagai pihak mengenai media mikoriza pada tanaman gulma yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.5. Pendekatan Masalah
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan, dan gulma daun lebar(Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Gulma banyak didapatkan di lahan yang terbuka dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kurang subur, hal ini menarik untuk diamati terutama pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Menurut Sieverding (1991), bahwa tumbuhan Eupatorium odoratum dapat digunakan untuk tanaman inang dari endomikoriza, dengan demikian maka pengamatan tentang peningkatan jumlah inokulan atau propagul dari endomikoriza dapat digunakan sebagai tanaman inang.
Mikoriza apabila menginfeksi jaringan akar tanaman maka akan ada selama tanaman tersebut hidup. Hal tersebut ada kemungkinan diantara jenis gulma, Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum mempunyai asosiasi/simbiosis dengan jenis spora endomikoriza tertentu. Asosiasi Endomikoriza terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung) (Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
Endomikoriza membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora. Ada dua struktur khas yang dibentuk oleh jamur mikoriza vesikula arbuskula (Mosse, 1981), yaitu :
1. Arbuskula
Dibentuk secara intraseluler oleh percabangan yang berulang-ulang dari suatu infeksi hifa, tukar menukar nutrien mungkin lebih banyak antara tanaman inang dengan simbion. Arbuskula terbentuk setelah 2-3 hari inang terinfeksi.
2. Vesikula
Memiliki bentuk yang menyerupai kantung dan menggelembung, dibentuk di bagian ujung hifa. Vesikula mengandung lemak dan diperkirakan bertindak sebagai tempat penyimpanan sementara.
3. Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.
Pengelolaan tanaman gulma untuk dijadikan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan, antara lain dengan adanya asosiasi dengan jenis mikoriza. Pertumbuhan tanaman gulma cepat seperti tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum sehingga memudahkan apabila dilakukan perbanyakan Endomikoriza.
1.6. Metodologi Penelitian
Metode penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap lapangan, tahap laboratorium dan tahap perbanyakan endomikoriza.
1. Tahap pertama adalah tahap lapangan meliputi survey lokasi penelitian dengan menggunakan metoda jelajah untuk mengetahui kondisi dan gambaran umum lokasi. Selain itu, dilakukan pengambilan sampel menggunakan metoda Kuadrat dengan lima buah plot pengambilan sampel. Masing-masing plot berukuran 1m x 1m.
2. Tahap kedua adalah Analisis laboratorium meliputi Mengamati dan mengidentifikasi jenis-jenis spora mikoriza yang tumbuh di sekitar perakaran Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Pengamatan spora mikoriza yang didapatkan dari sampel tanah dengan metode penyaringan basah dan kemudian dilanjutkan untuk diidentifikasi (Menurut Schenk dan Perez, 1990). pembuatan preparat basah dengan metode pewarnaan menurut Kormanik dan McGraw (1982). Setelah itu akan dilakukan penghitungan persentase infeksi dengan mengguankan metode sistematik menurut Giovanti dan Mosse (1981) dalam Setiadi dkk(1992), yaitu metode slide.
3. Tahap ketiga adalah Perbanyakan endomikoriza pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
1.7. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2008 di Arboretum dan Laboratorium Struktur Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UNPAD.
Comunication on Animals
Communication: Basic Principles
What is communication? Let me try to cut through the Gordian knot of philosophical discussion that surrounds this word in biology by defining it with a simple declarative sentence. Biological communication is the action on the part of one organism (or cell) that alters the probability pattern of behavior in another organism (or cell) in a fashion adaptive to either one or both of participants. By adaptive I mean that the signaling, or the response, or both, have been genetically programmed to some extent by natural selection. Communication is neither the signal by itself nor the response, it is instead the relation between the two. Even if one animal signal and the other respond, there still has been no communication unless the probability of response was altered from what it would have been in the absence of the signal. We know that in human beings communication can occur without an outward changes of behavior on the part of the recipient. Trivial or otherwise useless information can be received, mentally noted, and never used. But in the study of animal behavior no operational criterion has yet been developed other than the changes in patterns of overt behavior, and it would be a retreat into mysticism to try to add mental criteria. At the same time there exist certain probability-altering actions which common sense forbids us from labeling as communication. An attack by predator certainly alters the behavior patterns of the intended victim, but there is no communicating in any sense in which we would care to use the word. Communication must also be consequential to some reasonable degree. If one animal simply pauses to watch as another moves by unknowingly at a distance, the passing animal has altered the behavior pattern of the first. But the passing animal was not really communicating in any way that could alter its own behavior or affect its relationship to the observing animal in the future. Perception occurred in this case but not communication.
J.B.S Haldane once said that a general property of communication is the pronounced energetic efficiency of signaling: a small effort put into the signal typically elicits an energetically greater response. This cannot be a universal prescription, but it is faithful enough to out intuition to permit the explicit exclusion of certain kinds of interaction. Two animals goring each other during an escalated territorial bout can be said to have commenced fighting. But to lift a friend from the ground in a abrazo is true communication that surely violets Haldane’s principle.
To finish drawing the boundaries of our definitions, consider the following two unusual examples that involve microorganisme. When bioluminescent bacteria of the genus Photobacterium are inoculated into a fresh medium, they are unable to produce a sufficient quantity of luciferase to generate light. After a while the growing bacteria secrete an activator substance of low molecular weight that promotes the synthesis of luciferase in bacteria of the same strain (Eberhard, 1972). Is this chemical synergism a form of communication? It can be designated as such or not, according to convenience. Lower organism such as Photobacterium, the interactions of which tend to be strictly physiological rather than behavioral, often create a grey zone of phenomena in which communication cannot be sharply demarcated. The second example includes three links in the communicative chain rather than the usual two. Hoyt et.al (1971) discovered that the sex attractant used by females of the grass grub beetle Costelytra zaelindica is the manufactured by symbiotic bacteria. These organism live in the beetle’s collateral glands, which are located beneath the vagina and serve the primary function of secreting a protective coating for the eggs. In this example, who is communicating with whom? Of course the question is basically frivolous: the beetles have simply added an entire organism to their biosynthetic machinery. The serious point to be made is that communication is an adaptive relation between the organism that signals and the one that receives, regardless of the complexity and length of the communication channel.
Human versus Animal Communication
The great dividing line in the evolution of communication lies between man and all of the remaining ten million or so species of organism. The most instructive way to view the less advanced system is to compare them with human language. With our own unique verbal system as a standard of reference we can define the limits of animal communication in terms of the properties it rarely—or never—displays. Consider the way I address you now. Each word I use has been assigned a specific meaning by particular culture and transmitted to us down through generations by learning. What is truly unique is the very large number of additional objects and concepts. This potential is quite literally infinite. To take an example from mathematics, we can coin no sense word for any number we choose (as in the case of the “googol,” which designates a I followed by 100 zeros). Human beings utter their words sequentially in phrases and sentences that generate, according to complex rules also determined at least partly by the culture, a vastly larger array of messages than is provided by the mere summed meanings of the words themselves. With else messages it is possible to talk about the language itself, an achievement we are utilizing here. It is also possible to project an endless number of unreal images: fiction or lies, speculation or fraud, idealism or demagoguery , the definition depending on whether or not the communicator informs the listener of his intention to speak falsely.
Now contrast this with one of the most sophisticated of all animal communication system, the celebrated waggle dance of the honeybee (Apis mellifera), first decoded in 1945 by the German biologist Karl von Frish. When a foraging worker bee returns from the field after discovering a food source (or, in the course of swarming, a desirable new nest site) at some distance from the hive, she indicates the location of this target to her fellow workers by performing the waggle dance. This pattern of her movement is a figure eight repeated over and over again in the midst of crowed of sister workers. The most distinctive and informative element of the dance is the straight run (the middle of the figure eight), which is given a particular emphasis by a rapid lateral vibration of the body (the waggle) that is greatest at the tip of the abdomen and least marked at the head.
The complete back and forth shake of the body is performed 13 to 15 times per second. At the same the bee emits an audible buzzing sound by vibrating her wings. The straight run represents, quit simply, a miniaturized version of the light from the hives to the target. It points directly at the target if the bee is dancing outside the hive on a horizontal surface (The position of the sun with respect to the straight run provides the required orientation.) if the bee is on a appropriate angle away from the vertical, so that gravity temporarily replaces the sun as the orientation cue (see figure 8-1).
The straight run also provides information on the distance of the target from the hive, by means of the following additional parameter. The farther away the goal lies, the longer the straight run lasts. In the Carniolan race of the honeybee a straight run lasting a second indicates a target about 500 meters away. During the dance the follower bees extend their antennae and touch the dancer repeatedly. Within minutes some begin to leave the nest and fly to the target. Their searching is respectably accurate: the great majority come down to search close to the ground within 20 percent of the correct distance.
Superficially the waggle dance of the honeybee may seem to posses some of the more advanced properties of human language. Symbolism occurs in the form of the ritualized straight run, and the communicator can generate new messages at will by means of the symbolism. Furthermore, the target is “spoken of” abstractly: it is an object removed in time and space. Nevertheless, the waggle dance, like all other forms of nonhuman communication studied so far, is severely limited in comparison with verbal language of human beings. The straight run is after all just a reenactment of the flight the bees will take, complete with wing buzzing to represent the actual motor activity required. The separate messages are not devised arbitrarily. The rules they follow are genetically fixed and always designate, with a one-to-one correspondence, a certain direction and distance.
In the other words, the messages cannot be manipulated to provide new classes of information. Moreover, within this rigrid context the messages are far being infinitely divisible. Because of errors both in the dance and in the subsequent searches by followers, only about three bits of information are transmitted with respect to distance and four bits respect to direction. This is the equivalent of a human communication system in which distance would be gauged on a scale with eight divisions and direction would be defined in terms of a compass with 16 points. In reading single messages, northeast could be distinguished from east by northeast, or west from west by southwest, but no more refined indication of direction would be possible. A through account of the work of von Frisch and his student is given in his master work Tanzsprache und Orientierung der Bienen (1965) or its English translation by L.E Chadwick (1967). A briefer review, including critiques and more recent studies, is provided by Wilson (1971a). the design features of human language as opposed to communication In animal, particularly, honeybee, were first systematically analyzed by Hockett (1960) and Altmann (1962b) and have been more recently evaluated by the same authors (Altmann, 1967b,c Hockett and Altmann, 1968). The main points o their formal system are included in the looser, more flexible account that follows.
DISCRETE VERSUS GRADED SIGNAL
Animal signal can be partitioned roughly into two structure categories: discrete and graded, or, as Sebeok (1962) designated them, digital and analog. Discrete signals are those that can be presented in a simple off-or-on manner, signifying yes or no, present or absent, here or there, and similar dichotomies. They are most perfectly represented in the act of simple recognition, particularly during courtship. The steel-blue back and red belly of the ,ale three-spined stickleback (Gasterosteud aculeatus) in an example of a discrete signal. Another is the ritualized preening of the male Mandarin duck (Aix galericulata), who whips his head back in a striking movement to point at the bright orange speculum of his wing. Still other examples are provided by bioluminescent flashing sequences of fireflies (Figure 8-2). Disreteness of form also characterizes the communion signals by which members of a group identify one another and stay in contact, such as the duetting of birds and certain grunting calls of the ungulates. Discrete signal become discrete through the evolution of “typical intensity” (Morros, 1957). That is, the intensity and duration of a behavior becomes less variable, so that no matter hoe weak or strong the stimulus evoking it, the behavior always stays about the same.
In contrast, graded (analog) signal have evolved in a way that increase variability. As a rule the greater the motivation of the animal or action about to be performed, the more intense and prolonged the signal given. The straight run of honeybee waggle dance denotes rather precisely the distance from the hive to the target. The “liveliness” or “vivacity” of the dance and its overall duration increase with the quality of the food find and the favorableness of the weather outside the hive. Graded communication is also strikingly developed in aggressive displays among animals. In rhesus monkeys, for example, a low intensity aggressive display is a simple stare. The hard look a human being receives when he approaches a caged rhesus id not so much a sign of curiosity as it is a cautious displays or hostility. Rhesus monkeys in the wild frequently threaten one another not only with stares but also with additional displays on an ascending scale of intensity. To the human observe these displays are increasingly obvious in their meaning. The new component are added one by one or in combination: the mouth opens, the head bobs up and down, characteristic sounds are uttered, and the hands slap the ground. By the time the monkey combines all these components, and perhaps begins to make little forward lungs as well it is likely to carry through with an actual attack (Figure 8-3). Its opponent responds by retreating or by escalating its own displays. These hostile exchanges play a key role in maintaining dominance relationships in the rhesus society.
Squirrels reveal gradually rising hostility by tail movements that increase from a slow waving back and forth to violent twitching. Birds often indicate aggressive tendencies by ruffling their feathers or spreading their wings, movements which create the temporary illusion that they larger than they really are. Many kinds of fish achieve the same deception by spreading their fins or extending their gill covers. Lizards raise their crest, lower their dewlaps, or flatten the side of their bodies to give an impression of greater depth. In short, the more hostile the animal, the more likely it is to attack and the bigger it seem to become. Such exhibitions are often accompanied by graded changes in both color and vocalization. And even by the scaled release of the characteristic odors (See Figure 8-4).
Gradation in one form or another characterizes most of the major categories of communication in animal societies. Birds and mammals transmit a rich array a messages, some of which are qualitatively different in meaning, by gradually varying postures and sounds (Andrew, 1972). Ants, to cite a very different king of organism, release quantities of alarm substances in approximate relation to the degree to which they have been stimulated. Fire ants deposit trail scent in amounts that reflect both the hunger of the colony and the richness of the food find (Hangartner, 1969a, Wilson, 1971a). the amplification of a signal can be accomplished simply by the gradual increase of the power output movement, melanophore contraction, or whatever component contains the information. Or it can be achieved by adding wholly new components. A striking example of the second method is found in the mobbing calls of certain birds (See Figure 8-5).
THE PRINCIPLE OF ANTITHESIS
One of the most general principles of animal communication was first recognized by Charles Darwin in The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872). Labeled by him the principle of Antithesis, it can be expressed in an oversimplified manner as the following duality: when an animal reverses its intentions, it reverses the signal. The signal antithesis are most sharply defined in aggressive interactions. An animal that approaches another in a conciliatory mood, or else has lost a fight and is trying to appease the victor, uses postures and movements that are the opposite of aggressive displays. Darwin’s own description of antithetic signaling in dogs (see Figure 8-6) is graphic and precise:
When a dog approaches a strange dog or man in savage or hostile frame of mind he walks upright and very stiffly; his head is slightly raised, or not much lowered, the tail is held erect and quite rigid; the hairs bristle. Especially along the neck and back, the pricked ears are directed forwards, and the eyes have a fixed stare. These actions, as will hereafter be explained, follow from the dog’s intention to attack his enemy, and are thus to large extent intelligible. As he prepares to spring with a savage growl on his enemy, the canine teeth are uncovered, and the ears are pressed close backwards on the head, but with these latter actions we are not here concerned. Let us now suppose that the dog suddenly discovers that the man he is approaching, is not stranger, but his master, and let it be observed how completely and instantaneously his whole bearing is reversed. Instead of walking upright, the body sinks downwards or even crouches and is thrown into flexuous movements; his tail. Instead of being stiff and upright, is lowered and wagged from side to side; his hair instantly becomes smooth; his ears are depressed and drawn backwards, but not closely to the head; and lips hang loosely. From the drawing back of the ears, the eyelids become elongated, and the eyes no longer appear round and staring.
When displaying aggressively, a gull stretches its head forward, the ritualized intention movement by which the bird indicates it is ready to pack at its enemy. But in order to appease an opponent, a gull turns its head 900 to the side. Two gulls attempting to conciliate reciprocally will stand side by side, or face each other with their bodies, but they will momentarily gazing in opposite direction (N.Tingbergen, 1960). Dominant male rhesus monkeys raise their tails and heads and display their testicles by lowering them, subordinates lower their tails and heads and raise their testicles. The dominant males also mount their subordinates in ritual pseudocopulation, the subordinates present themselves in a pseudofemale posture to be mounted. Although such example can be multiplied at length, not all displays opposite in meaning are also antithetical in appearance to the human observe. Even appeasement displays sometimes incorporate wholly new elements unrelated to hostile signaling. Hyenas, for example, rely heavily on penis displays to conciliate one another, even the females are equipped with pseudopenes which they use with convincing skill (Kruuk, 1972). Rodents and primates routinely utilize grooming, while some birds and mammals revert to begging and other juvenile postures (Wickler, 1972a).
SIGNAL SPECIFICITY
The communication systems of insect, of other invertebrates, and of the lower vertebrates (such as fishes and amphibians) are characteristically stereotyped. This means that each signal there is only one response or very few responses, that each response can be evoked by only a very limited number of signal, and that the signaling behavior and response are nearly constant throughout entire populations of the same species. An extreme example of this rule is seen in the phenomenon of chemical sex attraction in moths. The female silkworm moth draws males to her by emitting minute quantities of a complex alcohol from glands at the tip of her abdomen. The secretion is called bombykol (from the name of the moth, Bombyx mori), and its chemical structure is trans -10 cis-12 hexadecadienol.
Bombykol is a remarkably powerful biological agent. According to estimates made by Dietrich Scheneider and his coworkers at the Max Planck Institute for Comparative Physiology at Seewiesen in Germany, the male silkworm moth start searching forfemales when they are immersed in as few as 14,000 molecules of bombykol per cubic centimeter of air. The male catches the molecules on some 10,000 distinctive sensory hairs on each of his two feathery antennae. Each hair is innervated nerve and ultimately through connecting nerve cells to centers in the brain. The extraordinary fact that emerged from the study by the Seewiesen group is that only a single molecules of bombykol is required to activate a receptor cell. Furthermore, the cell will respond to virtually no stimulus other than molecules of bombykol. When about 200 cell in each antenna are activated per second, the male moth starts its motor response (Schnider, 1969). Tightly bound by this extreme signal specificity, the male performs as little more than a sexual guided missile, programmed to home on an increasing gradient of bombykol centered on the tip of the female’s abdomen—the principal goal of the male’s adult life.
Such highly stereotyped communication system are particularly important in evolutionary theory because of the possible role, they play in the origin of new species. Conceivably one small change in the sex-attractant molecule induced by a genetic mutation, together with a corresponding change in the antennal receptor cell, could result in the creation or a population of individuals that would be reproductively isolated from the parental stock. Persuasive evidence for the feasibility of such as mutational change has been adduced by Roelofs and Cemeau (1969). They found two closely related species of moth (members of the genus Bryotopha in the family Gelechidae) whose female’s sex attractants differ by only the configuration of a single carbon atom adjacent to a double bond. In other words, the attractants are simply different geo metric isomer. Field tests showed not only that a Bryotopha male respond solely to the isomer of his own species but also that his response is inhibited if some of the other species’ isomer is also present. An even more extreme case—the ultimate possible, in fact—has been reported by Minks et al (1973). The two tortricid moth species Adoxophyes orana and Clepsis spectrana utilize the same twi isomers, cis-9 and cis-11 tetradecenlyacetate, as their female sex attractant. However, they manufactured and release them in different blends are sufficient to affect the male responses and hence isolate the species from each other.
For each such case extreme specificity there exist others in which signals are shared by more than one kind of animal. Among moths of the families Saturniidae and Tortricidae, specificity of the sex pheromone often exist at the species group level, meaning that the males respond to the pheromones emitted by females of both their own and closely related species (Priesner, 1968; Sanders, 1971). Under natural conditions the species depend on other kinds of prezygotic isolating mechanism to avoid hybridization, particularly differences in preferred habitats, seasons of emergence, and times of peak matting activity.
Other kinds of signals are known which are clearly not designed to impart specificity. The alarm substances of ants, termites, and social bees consist of an astonishing diversity of terpenes, hydrocarbons, and esters, most of which have low molecular weights. In spite of the fact that they differ in composition and proportionality from one species to another, they are generally active across broad taxonomic groups. When an agitated honeybee worker discharges isoamylacetate or 2 – heptanone, it alarms not only her nestmates but also any ant or termate that happens to be in the near vicinity. This phenomenon is precisely what the evolutionist would expect. Privacy is not a requirement of alarm communication, and when the communication is coupled with interspecific aggressive behavior, signals should be expected to affect enemies as well as nestmates. The same differences in breadth of activity are found among the communication system of bird and are subject to the same explanation. Territorial and courtship displays, including advertising songs, are characteristically elaborate and species-distinct. Their exceptional complexity and repetitive patterning are in fact the reasons why human beings consider them beautiful. But esthetics are not the primary consideration of birds. The displays are sufficient, in the great majority of cases, to isolate the members of each species of bird from all other species breeding in the same area. Where “mistake” occur, resulting in interspecific territorial combat or hybrids, they are usually limited to closely related species and most often to those that have come close contact only in the most recent geologic time. In contrast, the mobbing calls of small birds, which assemble other birds for cooperation in driving a predator from the neighborhood, are very similar from one species to another and are understood by all. The gulls (family laridae) provide an excellent capsular illustration of the specificity rule. The sequence of courtship displays of each sympatric species is distinctive in one species the long call is followed by mewing, in another the choking displays is followed by the long call, and so forth. The precise forms of the separate components also vary. During the lengthy exchanges leading to pair bonding, these signals make it unlikely that any gull will choose a partner of the wrong species. In contrast, the displays of aggression and appeasement are simple in execution and uniform across species. In a closely parallel manner, the intergroup spacing and within-group rallying call of Cercopithecus monkeys are species-specific, but their alarm call are relatively constant and can be understood from one species to the next (Marler, 1973).
Even though much convergence of signals exists in aggressive interactions, there is no universal code to which all species of a group subscribe. In the mammals, for example, we find appeasement behavior following much the same form in species after species : the animal tends to crouch, often rolling over to expose its flank or belly. Konrad Lorenz suggested that in some mammals such as the dog the exposure of these most vulnerable part cancel the aggressive impulse of the opponent. However, the belly-up posture does not invariably mean submission. Among shrews it signifies hostility and dominance-with good reason, since the shrew’s best fighting position is on its back (Ewer, 1968). Two points should be stressed : first, that evolution is entirely opportunistic and not bounded by any goal-directed rules, however intuitively appealing they may seem; and second, that display behavior are among the most evolutionarily labile of all phenotypic traits.
What is communication? Let me try to cut through the Gordian knot of philosophical discussion that surrounds this word in biology by defining it with a simple declarative sentence. Biological communication is the action on the part of one organism (or cell) that alters the probability pattern of behavior in another organism (or cell) in a fashion adaptive to either one or both of participants. By adaptive I mean that the signaling, or the response, or both, have been genetically programmed to some extent by natural selection. Communication is neither the signal by itself nor the response, it is instead the relation between the two. Even if one animal signal and the other respond, there still has been no communication unless the probability of response was altered from what it would have been in the absence of the signal. We know that in human beings communication can occur without an outward changes of behavior on the part of the recipient. Trivial or otherwise useless information can be received, mentally noted, and never used. But in the study of animal behavior no operational criterion has yet been developed other than the changes in patterns of overt behavior, and it would be a retreat into mysticism to try to add mental criteria. At the same time there exist certain probability-altering actions which common sense forbids us from labeling as communication. An attack by predator certainly alters the behavior patterns of the intended victim, but there is no communicating in any sense in which we would care to use the word. Communication must also be consequential to some reasonable degree. If one animal simply pauses to watch as another moves by unknowingly at a distance, the passing animal has altered the behavior pattern of the first. But the passing animal was not really communicating in any way that could alter its own behavior or affect its relationship to the observing animal in the future. Perception occurred in this case but not communication.
J.B.S Haldane once said that a general property of communication is the pronounced energetic efficiency of signaling: a small effort put into the signal typically elicits an energetically greater response. This cannot be a universal prescription, but it is faithful enough to out intuition to permit the explicit exclusion of certain kinds of interaction. Two animals goring each other during an escalated territorial bout can be said to have commenced fighting. But to lift a friend from the ground in a abrazo is true communication that surely violets Haldane’s principle.
To finish drawing the boundaries of our definitions, consider the following two unusual examples that involve microorganisme. When bioluminescent bacteria of the genus Photobacterium are inoculated into a fresh medium, they are unable to produce a sufficient quantity of luciferase to generate light. After a while the growing bacteria secrete an activator substance of low molecular weight that promotes the synthesis of luciferase in bacteria of the same strain (Eberhard, 1972). Is this chemical synergism a form of communication? It can be designated as such or not, according to convenience. Lower organism such as Photobacterium, the interactions of which tend to be strictly physiological rather than behavioral, often create a grey zone of phenomena in which communication cannot be sharply demarcated. The second example includes three links in the communicative chain rather than the usual two. Hoyt et.al (1971) discovered that the sex attractant used by females of the grass grub beetle Costelytra zaelindica is the manufactured by symbiotic bacteria. These organism live in the beetle’s collateral glands, which are located beneath the vagina and serve the primary function of secreting a protective coating for the eggs. In this example, who is communicating with whom? Of course the question is basically frivolous: the beetles have simply added an entire organism to their biosynthetic machinery. The serious point to be made is that communication is an adaptive relation between the organism that signals and the one that receives, regardless of the complexity and length of the communication channel.
Human versus Animal Communication
The great dividing line in the evolution of communication lies between man and all of the remaining ten million or so species of organism. The most instructive way to view the less advanced system is to compare them with human language. With our own unique verbal system as a standard of reference we can define the limits of animal communication in terms of the properties it rarely—or never—displays. Consider the way I address you now. Each word I use has been assigned a specific meaning by particular culture and transmitted to us down through generations by learning. What is truly unique is the very large number of additional objects and concepts. This potential is quite literally infinite. To take an example from mathematics, we can coin no sense word for any number we choose (as in the case of the “googol,” which designates a I followed by 100 zeros). Human beings utter their words sequentially in phrases and sentences that generate, according to complex rules also determined at least partly by the culture, a vastly larger array of messages than is provided by the mere summed meanings of the words themselves. With else messages it is possible to talk about the language itself, an achievement we are utilizing here. It is also possible to project an endless number of unreal images: fiction or lies, speculation or fraud, idealism or demagoguery , the definition depending on whether or not the communicator informs the listener of his intention to speak falsely.
Now contrast this with one of the most sophisticated of all animal communication system, the celebrated waggle dance of the honeybee (Apis mellifera), first decoded in 1945 by the German biologist Karl von Frish. When a foraging worker bee returns from the field after discovering a food source (or, in the course of swarming, a desirable new nest site) at some distance from the hive, she indicates the location of this target to her fellow workers by performing the waggle dance. This pattern of her movement is a figure eight repeated over and over again in the midst of crowed of sister workers. The most distinctive and informative element of the dance is the straight run (the middle of the figure eight), which is given a particular emphasis by a rapid lateral vibration of the body (the waggle) that is greatest at the tip of the abdomen and least marked at the head.
The complete back and forth shake of the body is performed 13 to 15 times per second. At the same the bee emits an audible buzzing sound by vibrating her wings. The straight run represents, quit simply, a miniaturized version of the light from the hives to the target. It points directly at the target if the bee is dancing outside the hive on a horizontal surface (The position of the sun with respect to the straight run provides the required orientation.) if the bee is on a appropriate angle away from the vertical, so that gravity temporarily replaces the sun as the orientation cue (see figure 8-1).
The straight run also provides information on the distance of the target from the hive, by means of the following additional parameter. The farther away the goal lies, the longer the straight run lasts. In the Carniolan race of the honeybee a straight run lasting a second indicates a target about 500 meters away. During the dance the follower bees extend their antennae and touch the dancer repeatedly. Within minutes some begin to leave the nest and fly to the target. Their searching is respectably accurate: the great majority come down to search close to the ground within 20 percent of the correct distance.
Superficially the waggle dance of the honeybee may seem to posses some of the more advanced properties of human language. Symbolism occurs in the form of the ritualized straight run, and the communicator can generate new messages at will by means of the symbolism. Furthermore, the target is “spoken of” abstractly: it is an object removed in time and space. Nevertheless, the waggle dance, like all other forms of nonhuman communication studied so far, is severely limited in comparison with verbal language of human beings. The straight run is after all just a reenactment of the flight the bees will take, complete with wing buzzing to represent the actual motor activity required. The separate messages are not devised arbitrarily. The rules they follow are genetically fixed and always designate, with a one-to-one correspondence, a certain direction and distance.
In the other words, the messages cannot be manipulated to provide new classes of information. Moreover, within this rigrid context the messages are far being infinitely divisible. Because of errors both in the dance and in the subsequent searches by followers, only about three bits of information are transmitted with respect to distance and four bits respect to direction. This is the equivalent of a human communication system in which distance would be gauged on a scale with eight divisions and direction would be defined in terms of a compass with 16 points. In reading single messages, northeast could be distinguished from east by northeast, or west from west by southwest, but no more refined indication of direction would be possible. A through account of the work of von Frisch and his student is given in his master work Tanzsprache und Orientierung der Bienen (1965) or its English translation by L.E Chadwick (1967). A briefer review, including critiques and more recent studies, is provided by Wilson (1971a). the design features of human language as opposed to communication In animal, particularly, honeybee, were first systematically analyzed by Hockett (1960) and Altmann (1962b) and have been more recently evaluated by the same authors (Altmann, 1967b,c Hockett and Altmann, 1968). The main points o their formal system are included in the looser, more flexible account that follows.
DISCRETE VERSUS GRADED SIGNAL
Animal signal can be partitioned roughly into two structure categories: discrete and graded, or, as Sebeok (1962) designated them, digital and analog. Discrete signals are those that can be presented in a simple off-or-on manner, signifying yes or no, present or absent, here or there, and similar dichotomies. They are most perfectly represented in the act of simple recognition, particularly during courtship. The steel-blue back and red belly of the ,ale three-spined stickleback (Gasterosteud aculeatus) in an example of a discrete signal. Another is the ritualized preening of the male Mandarin duck (Aix galericulata), who whips his head back in a striking movement to point at the bright orange speculum of his wing. Still other examples are provided by bioluminescent flashing sequences of fireflies (Figure 8-2). Disreteness of form also characterizes the communion signals by which members of a group identify one another and stay in contact, such as the duetting of birds and certain grunting calls of the ungulates. Discrete signal become discrete through the evolution of “typical intensity” (Morros, 1957). That is, the intensity and duration of a behavior becomes less variable, so that no matter hoe weak or strong the stimulus evoking it, the behavior always stays about the same.
In contrast, graded (analog) signal have evolved in a way that increase variability. As a rule the greater the motivation of the animal or action about to be performed, the more intense and prolonged the signal given. The straight run of honeybee waggle dance denotes rather precisely the distance from the hive to the target. The “liveliness” or “vivacity” of the dance and its overall duration increase with the quality of the food find and the favorableness of the weather outside the hive. Graded communication is also strikingly developed in aggressive displays among animals. In rhesus monkeys, for example, a low intensity aggressive display is a simple stare. The hard look a human being receives when he approaches a caged rhesus id not so much a sign of curiosity as it is a cautious displays or hostility. Rhesus monkeys in the wild frequently threaten one another not only with stares but also with additional displays on an ascending scale of intensity. To the human observe these displays are increasingly obvious in their meaning. The new component are added one by one or in combination: the mouth opens, the head bobs up and down, characteristic sounds are uttered, and the hands slap the ground. By the time the monkey combines all these components, and perhaps begins to make little forward lungs as well it is likely to carry through with an actual attack (Figure 8-3). Its opponent responds by retreating or by escalating its own displays. These hostile exchanges play a key role in maintaining dominance relationships in the rhesus society.
Squirrels reveal gradually rising hostility by tail movements that increase from a slow waving back and forth to violent twitching. Birds often indicate aggressive tendencies by ruffling their feathers or spreading their wings, movements which create the temporary illusion that they larger than they really are. Many kinds of fish achieve the same deception by spreading their fins or extending their gill covers. Lizards raise their crest, lower their dewlaps, or flatten the side of their bodies to give an impression of greater depth. In short, the more hostile the animal, the more likely it is to attack and the bigger it seem to become. Such exhibitions are often accompanied by graded changes in both color and vocalization. And even by the scaled release of the characteristic odors (See Figure 8-4).
Gradation in one form or another characterizes most of the major categories of communication in animal societies. Birds and mammals transmit a rich array a messages, some of which are qualitatively different in meaning, by gradually varying postures and sounds (Andrew, 1972). Ants, to cite a very different king of organism, release quantities of alarm substances in approximate relation to the degree to which they have been stimulated. Fire ants deposit trail scent in amounts that reflect both the hunger of the colony and the richness of the food find (Hangartner, 1969a, Wilson, 1971a). the amplification of a signal can be accomplished simply by the gradual increase of the power output movement, melanophore contraction, or whatever component contains the information. Or it can be achieved by adding wholly new components. A striking example of the second method is found in the mobbing calls of certain birds (See Figure 8-5).
THE PRINCIPLE OF ANTITHESIS
One of the most general principles of animal communication was first recognized by Charles Darwin in The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872). Labeled by him the principle of Antithesis, it can be expressed in an oversimplified manner as the following duality: when an animal reverses its intentions, it reverses the signal. The signal antithesis are most sharply defined in aggressive interactions. An animal that approaches another in a conciliatory mood, or else has lost a fight and is trying to appease the victor, uses postures and movements that are the opposite of aggressive displays. Darwin’s own description of antithetic signaling in dogs (see Figure 8-6) is graphic and precise:
When a dog approaches a strange dog or man in savage or hostile frame of mind he walks upright and very stiffly; his head is slightly raised, or not much lowered, the tail is held erect and quite rigid; the hairs bristle. Especially along the neck and back, the pricked ears are directed forwards, and the eyes have a fixed stare. These actions, as will hereafter be explained, follow from the dog’s intention to attack his enemy, and are thus to large extent intelligible. As he prepares to spring with a savage growl on his enemy, the canine teeth are uncovered, and the ears are pressed close backwards on the head, but with these latter actions we are not here concerned. Let us now suppose that the dog suddenly discovers that the man he is approaching, is not stranger, but his master, and let it be observed how completely and instantaneously his whole bearing is reversed. Instead of walking upright, the body sinks downwards or even crouches and is thrown into flexuous movements; his tail. Instead of being stiff and upright, is lowered and wagged from side to side; his hair instantly becomes smooth; his ears are depressed and drawn backwards, but not closely to the head; and lips hang loosely. From the drawing back of the ears, the eyelids become elongated, and the eyes no longer appear round and staring.
When displaying aggressively, a gull stretches its head forward, the ritualized intention movement by which the bird indicates it is ready to pack at its enemy. But in order to appease an opponent, a gull turns its head 900 to the side. Two gulls attempting to conciliate reciprocally will stand side by side, or face each other with their bodies, but they will momentarily gazing in opposite direction (N.Tingbergen, 1960). Dominant male rhesus monkeys raise their tails and heads and display their testicles by lowering them, subordinates lower their tails and heads and raise their testicles. The dominant males also mount their subordinates in ritual pseudocopulation, the subordinates present themselves in a pseudofemale posture to be mounted. Although such example can be multiplied at length, not all displays opposite in meaning are also antithetical in appearance to the human observe. Even appeasement displays sometimes incorporate wholly new elements unrelated to hostile signaling. Hyenas, for example, rely heavily on penis displays to conciliate one another, even the females are equipped with pseudopenes which they use with convincing skill (Kruuk, 1972). Rodents and primates routinely utilize grooming, while some birds and mammals revert to begging and other juvenile postures (Wickler, 1972a).
SIGNAL SPECIFICITY
The communication systems of insect, of other invertebrates, and of the lower vertebrates (such as fishes and amphibians) are characteristically stereotyped. This means that each signal there is only one response or very few responses, that each response can be evoked by only a very limited number of signal, and that the signaling behavior and response are nearly constant throughout entire populations of the same species. An extreme example of this rule is seen in the phenomenon of chemical sex attraction in moths. The female silkworm moth draws males to her by emitting minute quantities of a complex alcohol from glands at the tip of her abdomen. The secretion is called bombykol (from the name of the moth, Bombyx mori), and its chemical structure is trans -10 cis-12 hexadecadienol.
Bombykol is a remarkably powerful biological agent. According to estimates made by Dietrich Scheneider and his coworkers at the Max Planck Institute for Comparative Physiology at Seewiesen in Germany, the male silkworm moth start searching forfemales when they are immersed in as few as 14,000 molecules of bombykol per cubic centimeter of air. The male catches the molecules on some 10,000 distinctive sensory hairs on each of his two feathery antennae. Each hair is innervated nerve and ultimately through connecting nerve cells to centers in the brain. The extraordinary fact that emerged from the study by the Seewiesen group is that only a single molecules of bombykol is required to activate a receptor cell. Furthermore, the cell will respond to virtually no stimulus other than molecules of bombykol. When about 200 cell in each antenna are activated per second, the male moth starts its motor response (Schnider, 1969). Tightly bound by this extreme signal specificity, the male performs as little more than a sexual guided missile, programmed to home on an increasing gradient of bombykol centered on the tip of the female’s abdomen—the principal goal of the male’s adult life.
Such highly stereotyped communication system are particularly important in evolutionary theory because of the possible role, they play in the origin of new species. Conceivably one small change in the sex-attractant molecule induced by a genetic mutation, together with a corresponding change in the antennal receptor cell, could result in the creation or a population of individuals that would be reproductively isolated from the parental stock. Persuasive evidence for the feasibility of such as mutational change has been adduced by Roelofs and Cemeau (1969). They found two closely related species of moth (members of the genus Bryotopha in the family Gelechidae) whose female’s sex attractants differ by only the configuration of a single carbon atom adjacent to a double bond. In other words, the attractants are simply different geo metric isomer. Field tests showed not only that a Bryotopha male respond solely to the isomer of his own species but also that his response is inhibited if some of the other species’ isomer is also present. An even more extreme case—the ultimate possible, in fact—has been reported by Minks et al (1973). The two tortricid moth species Adoxophyes orana and Clepsis spectrana utilize the same twi isomers, cis-9 and cis-11 tetradecenlyacetate, as their female sex attractant. However, they manufactured and release them in different blends are sufficient to affect the male responses and hence isolate the species from each other.
For each such case extreme specificity there exist others in which signals are shared by more than one kind of animal. Among moths of the families Saturniidae and Tortricidae, specificity of the sex pheromone often exist at the species group level, meaning that the males respond to the pheromones emitted by females of both their own and closely related species (Priesner, 1968; Sanders, 1971). Under natural conditions the species depend on other kinds of prezygotic isolating mechanism to avoid hybridization, particularly differences in preferred habitats, seasons of emergence, and times of peak matting activity.
Other kinds of signals are known which are clearly not designed to impart specificity. The alarm substances of ants, termites, and social bees consist of an astonishing diversity of terpenes, hydrocarbons, and esters, most of which have low molecular weights. In spite of the fact that they differ in composition and proportionality from one species to another, they are generally active across broad taxonomic groups. When an agitated honeybee worker discharges isoamylacetate or 2 – heptanone, it alarms not only her nestmates but also any ant or termate that happens to be in the near vicinity. This phenomenon is precisely what the evolutionist would expect. Privacy is not a requirement of alarm communication, and when the communication is coupled with interspecific aggressive behavior, signals should be expected to affect enemies as well as nestmates. The same differences in breadth of activity are found among the communication system of bird and are subject to the same explanation. Territorial and courtship displays, including advertising songs, are characteristically elaborate and species-distinct. Their exceptional complexity and repetitive patterning are in fact the reasons why human beings consider them beautiful. But esthetics are not the primary consideration of birds. The displays are sufficient, in the great majority of cases, to isolate the members of each species of bird from all other species breeding in the same area. Where “mistake” occur, resulting in interspecific territorial combat or hybrids, they are usually limited to closely related species and most often to those that have come close contact only in the most recent geologic time. In contrast, the mobbing calls of small birds, which assemble other birds for cooperation in driving a predator from the neighborhood, are very similar from one species to another and are understood by all. The gulls (family laridae) provide an excellent capsular illustration of the specificity rule. The sequence of courtship displays of each sympatric species is distinctive in one species the long call is followed by mewing, in another the choking displays is followed by the long call, and so forth. The precise forms of the separate components also vary. During the lengthy exchanges leading to pair bonding, these signals make it unlikely that any gull will choose a partner of the wrong species. In contrast, the displays of aggression and appeasement are simple in execution and uniform across species. In a closely parallel manner, the intergroup spacing and within-group rallying call of Cercopithecus monkeys are species-specific, but their alarm call are relatively constant and can be understood from one species to the next (Marler, 1973).
Even though much convergence of signals exists in aggressive interactions, there is no universal code to which all species of a group subscribe. In the mammals, for example, we find appeasement behavior following much the same form in species after species : the animal tends to crouch, often rolling over to expose its flank or belly. Konrad Lorenz suggested that in some mammals such as the dog the exposure of these most vulnerable part cancel the aggressive impulse of the opponent. However, the belly-up posture does not invariably mean submission. Among shrews it signifies hostility and dominance-with good reason, since the shrew’s best fighting position is on its back (Ewer, 1968). Two points should be stressed : first, that evolution is entirely opportunistic and not bounded by any goal-directed rules, however intuitively appealing they may seem; and second, that display behavior are among the most evolutionarily labile of all phenotypic traits.
Langganan:
Postingan (Atom)